Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukhari, Kesetiaan pada Si Mak Itam

Kompas.com - 07/08/2013, 19:30 WIB

Sistem pengereman di lokomotif uap ini juga berbeda dengan lokomotif diesel. Bila masinis terlalu kencang menarik tuas pengereman, setang pengatur laju roda akan bengkok. ”Di masa lampau, masinis turun pangkat kalau setang ini bengkok,” tutur Bukhari.

Pengalaman yang tidak mengenakkan itu pernah dirasakan almarhum Bahar Lelo Sutan, ayahanda Bukhari yang juga masinis kereta uap di Sawahlunto.

Pangkat Bahar Lelo Sutan pernah diturunkan karena dia menyebabkan setang lokomotif bengkok. Pengalaman ini yang digunakan Bukhari untuk lebih berhati-hati mengoperasikan lokomotif uap.

Selain itu, rangkaian kereta uap juga membutuhkan kerja sama tim. Alasannya, sistem pengereman tidak tersentral di lokomotif, tetapi harus dibantu di kereta atau gerbong yang ditarik.

”Harus ada petugas di rangkaian kereta atau gerbong. Bila mendengar suara suling pengereman, petugas harus menarik rem di kabin penumpang atau di gerbong barang agar kereta bisa berhenti,” tuturnya.

Benahi kerusakan

Kerusakan Mak Itam juga menjadi tanggung jawab Bukhari yang kini menjabat sebagai pengawas urusan sarana Depo Solok. Dengan segala keterbatasan, terutama karena lokomotif uap ini juga sudah jarang dipakai di seluruh dunia, Bukhari tetap mengakali agar lokomotif tetap bisa beroperasi.

Berbagai persoalan dihadapinya bersama Mak Itam, terutama karena lokomotif ini sudah tua. Sekali waktu, lokomotif uap ini mogok di tengah jalan sehingga tidak bisa lagi mendaki rel menuju Stasiun Sawahlunto. Terpaksalah Bukhari menunggu lokomotif diesel yang tengah menarik kereta wisata. Sampai di lokasi, Mak Itam didorong naik sampai ke Sawahlunto.

Di awal tahun 2013, Mak Itam kembali mogok karena ada 12 pipa pembakaran yang bocor lantaran besi-besinya keropos. Untuk masalah yang satu ini, Bukhari terpaksa angkat tangan karena kerusakan hanya bisa diselesaikan dengan mengganti komponen pipa.

Dia pernah memanaskan lokomotif ini karena ada permintaan menjalankan kereta dari Pemerintah Kota Sawahlunto. Namun, kerja dari dini hari tidak membuahkan hasil karena tekanan uap belum cukup untuk menggerakkan kereta. Jadilah kerja memanaskan lokomotif sejak dini hari menjadi sia-sia. ”Ini risiko saya,” ucap ayah dari empat anak itu. (Agnes Rita Sulistyawaty)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com