Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukhari, Kesetiaan pada Si Mak Itam

Kompas.com - 07/08/2013, 19:30 WIB
JARUM jam masih menunjukkan angka 02.45 ketika Bukhari sudah menyelinap di kabin lokomotif uap Mak Itam, pertengahan Maret 2013. Di kakinya, tumpukan batubara mulai diserok ke tungku pembakaran. Tangannya yang lincah memantik api untuk memulai pembakaran.

Dinginnya udara Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, saat itu segera terusir oleh panas bara api dari tungku lokomotif kuno bernomor seri E 1060. Beberapa saat berselang, asap putih mulai keluar dari cerobong lokomotif.

Sementara itu, kabin masinis di lokomotif berumur 50 tahun tersebut segera penuh dengan asap hitam yang menyelip keluar dari celah pintu tungku pembakaran. Si Masinis, Bukhari yang bolak-balik ke kabin masinis, tidak bisa menghindari noda hitam partikel batubara yang menempel di sekujur tubuhnya.

”Beginilah kalau jadi masinis kereta uap. Kerjanya berat dan pasti kotor. Untuk memanasi ketel air, perlu waktu minimal 5 jam sebelum kereta dijalankan. Kalau waktu pemanasan kurang, tenaga uap yang dihasilkan juga berkurang,” kata Bukhari sambil tersenyum.

Waktu pemanasan ketel uap ini bisa bertambah bila ada banyak pipa pembakaran yang bocor lantaran besi keropos. Itu pun belum tentu bisa menghasilkan tekanan uap yang cukup untuk menggerakkan kereta. Bila tekanan tidak juga mencapai batas minimal, proses pemanasan ketel diakhiri tanpa sempat lokomotif ini beroperasi.

Kerja keras masinis lokomotif uap ini jauh lebih berat dari masinis kereta diesel. ”Kalau lokomotif diesel, pengendalian kereta banyak dilakukan dengan tombol-tombol. Masinisnya juga tidak menjadi hitam kena asap,” ujar Bukhari yang juga aktif mengemudikan lokomotif diesel sejak tahun 1986.

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Kereta api wisata bertenaga batu bara, Mak Itam, dipakai untuk membawa pebalap sepeda menuju ke lokasi start etape 6A Tour de Singkarak 2011 Sawahlunto menuju Istano Basa Pagaruyung, Sumatera Barat, Sabtu (11/6/2011). Panitia sengaja mengajak peserta Tour de Singkarak 2011 menaiki kereta api Mak Itam untuk mempromosikan potensi wisata di kota Sawahlunto.
Meskipun harus merelakan waktu istirahat malamnya, dia tetap gembira mempersiapkan satu-satunya sisa lokomotif uap di kota arang itu.

Sukarnya pemanasan ketel air pada lokomotif uap ini yang membuat lokomotif uap di masa lampau digunakan 24 jam. ”Kalaupun tidak dipakai untuk menarik kereta, harus ada petugas yang menunggui lokomotif agar ketel uap tetap panas,” papar Bukhari.

Kini, Bukhari memimpin dua pekerja saja yang memiliki kemampuan menangani Mak Itam. Dengan keterbatasan personel, mereka tidak mungkin menjaga tungku api mengebul sepanjang hari. Selain itu, dibutuhkan sekitar 1 ton batubara untuk sekali perjalanan singkat Mak Itam.

Masinis langka

Setelah era lokomotif uap surut, tidak banyak lagi masinis yang masih mewarisi kemampuan mengoperasikan lokomotif uap. Selain karena menuntut kerja berat, pengoperasian lokomotif uap memiliki risiko tinggi.

Kemampuan Bukhari mengoperasikan dan merawat lokomotif uap didasarkan pada pengamatan dan ketekunannya. Apalagi, dia baru bergabung dengan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) di Solok pada tahun 1983, setelah semua lokomotif uap ditarik dari Sumatera Barat.

”Waktu awal Mak Itam mau didatangkan lagi ke Sawahlunto, saya ditawari untuk menjalankannya karena tidak ada orang lain yang mau. Saya terima tawaran itu meskipun saya tidak tahu cara mengoperasikan lokomotif ini. Saya amati saja cara mengoperasikan lokomotif uap ini dari kawan di Ambarawa,” kata Bukhari.

Setelah mengetahui celah-celah untuk menjalankan kereta uap, Bukhari pun memberanikan diri untuk menjalankan kereta ini.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Lokomotif uap Mak Itam menarik gerbong berisi pebalap dan ofisial yang berlaga di Tour de Singkarak 2012 menuju start etape pertama di Sawahlunto di tepian Danau Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Minggu (3/6/2012).
Menjalankan lokomotif uap, menurut Bukhari, harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena ada beberapa bagian yang rawan. Salah satunya adalah pompa air yang harus terukur agar tidak menyebabkan ketel uap meledak.

Sistem pengereman di lokomotif uap ini juga berbeda dengan lokomotif diesel. Bila masinis terlalu kencang menarik tuas pengereman, setang pengatur laju roda akan bengkok. ”Di masa lampau, masinis turun pangkat kalau setang ini bengkok,” tutur Bukhari.

Pengalaman yang tidak mengenakkan itu pernah dirasakan almarhum Bahar Lelo Sutan, ayahanda Bukhari yang juga masinis kereta uap di Sawahlunto.

Pangkat Bahar Lelo Sutan pernah diturunkan karena dia menyebabkan setang lokomotif bengkok. Pengalaman ini yang digunakan Bukhari untuk lebih berhati-hati mengoperasikan lokomotif uap.

Selain itu, rangkaian kereta uap juga membutuhkan kerja sama tim. Alasannya, sistem pengereman tidak tersentral di lokomotif, tetapi harus dibantu di kereta atau gerbong yang ditarik.

”Harus ada petugas di rangkaian kereta atau gerbong. Bila mendengar suara suling pengereman, petugas harus menarik rem di kabin penumpang atau di gerbong barang agar kereta bisa berhenti,” tuturnya.

Benahi kerusakan

Kerusakan Mak Itam juga menjadi tanggung jawab Bukhari yang kini menjabat sebagai pengawas urusan sarana Depo Solok. Dengan segala keterbatasan, terutama karena lokomotif uap ini juga sudah jarang dipakai di seluruh dunia, Bukhari tetap mengakali agar lokomotif tetap bisa beroperasi.

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Kereta api wisata bertenaga batubara, Mak Itam, dipakai untuk membawa pebalap sepeda menuju ke lokasi start etape 6A Tour de Singkarak 2011 Sawahlunto menuju Istano Basa Pagaruyung, Sumatera Barat, Sabtu (11/6/2011).
Berbagai persoalan dihadapinya bersama Mak Itam, terutama karena lokomotif ini sudah tua. Sekali waktu, lokomotif uap ini mogok di tengah jalan sehingga tidak bisa lagi mendaki rel menuju Stasiun Sawahlunto. Terpaksalah Bukhari menunggu lokomotif diesel yang tengah menarik kereta wisata. Sampai di lokasi, Mak Itam didorong naik sampai ke Sawahlunto.

Di awal tahun 2013, Mak Itam kembali mogok karena ada 12 pipa pembakaran yang bocor lantaran besi-besinya keropos. Untuk masalah yang satu ini, Bukhari terpaksa angkat tangan karena kerusakan hanya bisa diselesaikan dengan mengganti komponen pipa.

Dia pernah memanaskan lokomotif ini karena ada permintaan menjalankan kereta dari Pemerintah Kota Sawahlunto. Namun, kerja dari dini hari tidak membuahkan hasil karena tekanan uap belum cukup untuk menggerakkan kereta. Jadilah kerja memanaskan lokomotif sejak dini hari menjadi sia-sia. ”Ini risiko saya,” ucap ayah dari empat anak itu. (Agnes Rita Sulistyawaty)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com