Ndalem Tjokrosoemartan dan Roemahku merupakan jejak masa keemasan batik Laweyan sejak era awal 1900-an hingga 1960-an. Dua rumah itu adalah tipikal rumah saudagar Laweyan. Rumah menggunakan konsep rumah jawa. Ada pembagian ruang berupa pendopo atau ruang depan dan ndalem atau ruang keluarga di bagian tengah.
Di antara pendopo dan ndalem itu ada pringgitan yang biasa digunakan menggelar ringgit atau wayang kulit. Di belakang ndalem terdapat tiga senthong atau kamar, yaitu pada bagian tengen atau kanan, tengah, serta kiwo (kiri). Akan tetapi, ada modifikasi di bagian eksterior dengan mengadopsi gaya art deco. Silang pengaruh itu memunculkan kesan sebagai rumah jawa yang ”mewah”.
”Ketika batik sedang booming, pengusaha batik Laweyan penghasilannya besar sekali. Mereka membangun rumah jawa, tapi modelnya dipengaruhi arsitektur Eropa, China,” kata Purnomo.
”Dari luar terlihat sederhana, tetapi sangat mewah di dalam. Dulu kebanggaan tuan rumah itu tecermin pada bentuk fisik rumah. Lantai rumah Laweyan bahkan seperti karpet Timur Tengah yang permanen,” kata Alpha Fabela Priyatmono, dosen Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta yang juga Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan.
Romantik dan turistik
Laweyan berubah sejak dicanangkan sebagai Kampoeng Batik Laweyan tahun 2004. Ia kini tampak cantik dan turistik, maksudnya terbuka menerima kunjungan pelancong. Bagi orang tertentu, ia terkesan eksotik dan romantik. Suatu hal yang tak terbayangkan di masa jaya Laweyan yang dulu tertutup.
”Sebelum 2004, rumah juragan batik tertutup semua. Batik tidak dijual di rumah dan hanya diproduksi untuk pesanan,” kata Alpha.
Pada era awal 1900-an, di Laweyan terdapat tak kurang dari 200-an pengusaha batik. Sejak akhir 1960-an, denyut industri batik Laweyan menyurut. Dan pada tahun 2004, hanya tersisa 18 pembuat batik. Ada semacam revivalisme setelah Kampoeng Batik Laweyan dibuka, yaitu dengan bangkitnya sekitar 50 usaha batik. Menyusuri Jalan Sidomukti saja bisa ditemukan sekitar 25 gerai batik.
Rumah-rumah pedagang batik Laweyan kini menjadi terbuka: sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya karena rumah di Laweyan dulu tertutup bagi orang yang tak berkepentingan. Kini, tamu bahkan bisa masuk sampai ke senthong-nya. Tentu saja, fungsinya sudah berbeda.
Di Batik Mahkota Laweyan, atau di Batik Putra Laweyan, misalnya, ndalem dan senthong itu digunakan untuk memajang batik. ”Suasana heritage-nya terasa. Enggak kayak masuk ke toko atau galeri batik,” kata Diana (50), warga Jakarta, tentang gerai batik Laweyan.
Di Batik Mahkota Laweyan milik keluarga Alpha Febela Priyatmono, wisatawan bisa belajar membuat batik tulis dengan bahan pewarna alam. Bukan hanya batik, sejumlah jejak sejarah kini disuguhkan di Laweyan dengan pendekatan turistik.
Sebuah bungker, lubang bawah tanah, misalnya, menjadi daya tarik wisata. Bungker terletak di rumah yang konon merupakan rumah peninggalan abdi dalem Kerajaan Pajang, Hangabehi Kertayuda. Dulunya, konon pula, bungker itu terhubung dengan bungker lainnya di Laweyan. Ada pula makanan berupa ledre intip, sampai apem yang kini dijajakan sebagai kuliner Laweyan. Bisa juga dibawa sebagai oleh-oleh.
Mereka disebut sebagai orang-orang dengan ”Rasa percaya diri, hemat, tidak tertarik pada gaya hidup foya-foya, dan tidak gila hormat...”, tulis Soedarmono. (Mawar Kusuma & Frans Sartono)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.