Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesona di Balik Lorong Tua Laweyan

Kompas.com - 14/08/2013, 11:59 WIB
MENYUSURI jalan-jalan di Kampung Laweyan, Solo, serasa memasuki lorong sejarah. Kita melongok masa keemasan saudagar batik pada awal era 1900-an. Bung Karno pernah singgah ke kampung saudagar yang giat membantu perjuangan negeri ini.

Mari bertandang ke rumah yang dulu dihuni saudagar batik Poesposoemarto yang dibangun tahun 1938. Rumah itu kini menjelma sebagai Roemahkoe Heritage Hotel milik Nina Akbar Tandjung. Jangan lupa mencicipi jangan bening alias sayur bening. Atau menikmati lodoh pindang yang mantap. Dan, yuk dolanan dakon, main congklak dengan sembilan ceruk yang masing-masing berisi sembilan kecik atau biji buah.

Menu dan permainan tradisional itu disajikan selaras dengan atmosfer Jawa yang melingkupi Roemahkoe yang dibuka tahun 2001. Rumah bersejarah itu terletak di Jalan Dr Rajiman, yang membelah kawasan Laweyan. Nina mempertahankan otentisitas bangunan dengan penyesuaian seperlunya di sana-sini tanpa mengurangi nuansa sebagai rumah jawa. Bahkan, sebagian perabotnya masih orisinal.

Salah satu perabot itu adalah amben atau balai-balai dari kayu jati. Dalam rumah pengusaha batik, amben lazim digunakan untuk menggelar kain batik. Nina punya cerita lain yang ia dengar dari cucu Poesposoemarto.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Foto mantan presiden RI pertama Soekarno yang menghiasi Ndalem Tjokrosoemartan di Jalan Dr Radjiman Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/7/2013). Ndalem Tjokrosoemartan menjadi salah satu bangunan cagar budaya di Kampung Batik Laweyan yang dialihfungsikan menjadi gedung resepsi pernikahan.
”Dulu kalau mereka ngitung duit, ya di amben itu. Duitnya dijejer-jejer banyak sekali,” kata Nina menggambarkan hasil kerja keras saudagar batik.

Cerita Nina tentang Roemahkoe dan rumah-rumah di Laweyan pada umumnya terdengar seperti dongeng kekayaan para saudagar batik. Untuk menyimpan berlian, misalnya, mereka membuat tempat rahasia di bawah ubin di salah satu senthong alias kamar.

Bahkan, masih menurut cerita yang dihimpun Nina dari keluarga saudagar batik Laweyan, mereka menyimpan berlian di dalam kaleng yang kemudian ditutup dengan malam atau lilin untuk membatik. Itu demi alasan keamanan. ”Kaleng isi berlian itu dimasukkan ke sumur di dalam rumah. Kalau mau mengambil, mereka menggunakan jangkar,” tutur Nina.

Ndalem Tjokrosoemartan

Kita beralih ke Ndalem Tjokrosoemartan milik saudagar batik Tjokrosoemarto yang dibangun tahun 1915. Letaknya di sebelah barat Roemahkoe. Ndalem Barat dalam bahasa Jawa berarti ’rumah’. Rumah tersebut kini menjadi Sasana Pawiwahan atau gedung pertemuan. Orang bisa menyewa untuk menghelat acara perkawinan atau perhelatan lain.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Rumah warga di Kampung Laweyan, Solo, Jawa Tengah, banyak yang difungsikan menjadi toko cinderamata batik.
Ndalem Tjokrosoemartan dengan luas tanah sekitar 5.000 meter persegi sudah menjelaskan sendiri tentang tingkat sosial- ekonomi pemiliknya. Tjokrosoemarto adalah salah seorang saudagar Laweyan yang mengekspor produk ke luar negeri pada era awal 1900-an. Bukan hanya batik yang diekspor ke Eropa, melainkan juga hasil bumi dan kerajinan.

”Eyang Tjokrosoemarto kalau mengekspor bisa sampai 50 gerbong kereta api. Barang diekspor lewat pelabuhan di Semarang atau Cirebon,” kata Purnomo Warasto (39), buyut dari Tjokrosoemarto yang juga merupakan Bendahara Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL).

Akses Tjokrosoemarto sebagai pedagang pribumi untuk bisa mengekspor ketika itu dibuka berkat upaya Haji Samanhoedi, saudagar Laweyan yang mendirikan Sarekat Dagang Islam.

Dituturkan oleh Purnomo, hasil dari usaha Tjokrosoemarto sebagian disumbangkan bagi perjuangan tokoh-tokoh kemerdekaan republik ini, termasuk Bung Karno, Bung Hatta, dan Jenderal Gatot Subroto. Di Ndalem Tjokrosoemartan kita bisa melihat foto-foto Bung Karno saat berkunjung ke rumah Tjokrosoemarto.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Bangunan cagar budaya yang dialihfungsikan menjadi Roemahkoe Heritage Hotel di Jalan Dr Radjiman Solo, Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/7).
”Bantuan untuk perjuangan itu bentuknya berupa perhiasan yang dikumpulkan ke dalam kaleng roti. Bantuan juga dikumpulkan dari para pedagang batik Laweyan lainnya,” kata Purnomo.

Simbol kemakmuran

Ndalem Tjokrosoemartan dan Roemahku merupakan jejak masa keemasan batik Laweyan sejak era awal 1900-an hingga 1960-an. Dua rumah itu adalah tipikal rumah saudagar Laweyan. Rumah menggunakan konsep rumah jawa. Ada pembagian ruang berupa pendopo atau ruang depan dan ndalem atau ruang keluarga di bagian tengah.

Di antara pendopo dan ndalem itu ada pringgitan yang biasa digunakan menggelar ringgit atau wayang kulit. Di belakang ndalem terdapat tiga senthong atau kamar, yaitu pada bagian tengen atau kanan, tengah, serta kiwo (kiri). Akan tetapi, ada modifikasi di bagian eksterior dengan mengadopsi gaya art deco. Silang pengaruh itu memunculkan kesan sebagai rumah jawa yang ”mewah”.

”Ketika batik sedang booming, pengusaha batik Laweyan penghasilannya besar sekali. Mereka membangun rumah jawa, tapi modelnya dipengaruhi arsitektur Eropa, China,” kata Purnomo.

”Dari luar terlihat sederhana, tetapi sangat mewah di dalam. Dulu kebanggaan tuan rumah itu tecermin pada bentuk fisik rumah. Lantai rumah Laweyan bahkan seperti karpet Timur Tengah yang permanen,” kata Alpha Fabela Priyatmono, dosen Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta yang juga Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan.

Romantik dan turistik

Laweyan berubah sejak dicanangkan sebagai Kampoeng Batik Laweyan tahun 2004. Ia kini tampak cantik dan turistik, maksudnya terbuka menerima kunjungan pelancong. Bagi orang tertentu, ia terkesan eksotik dan romantik. Suatu hal yang tak terbayangkan di masa jaya Laweyan yang dulu tertutup.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Pekerja menyelesaikan pembuatan kain batik yang khusus di ekspor ke Malaysia di Kampung Batik Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/7/2013).
”Sebelum 2004, rumah juragan batik tertutup semua. Batik tidak dijual di rumah dan hanya diproduksi untuk pesanan,” kata Alpha.

Pada era awal 1900-an, di Laweyan terdapat tak kurang dari 200-an pengusaha batik. Sejak akhir 1960-an, denyut industri batik Laweyan menyurut. Dan pada tahun 2004, hanya tersisa 18 pembuat batik. Ada semacam revivalisme setelah Kampoeng Batik Laweyan dibuka, yaitu dengan bangkitnya sekitar 50 usaha batik. Menyusuri Jalan Sidomukti saja bisa ditemukan sekitar 25 gerai batik.

Rumah-rumah pedagang batik Laweyan kini menjadi terbuka: sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya karena rumah di Laweyan dulu tertutup bagi orang yang tak berkepentingan. Kini, tamu bahkan bisa masuk sampai ke senthong-nya. Tentu saja, fungsinya sudah berbeda.

Di Batik Mahkota Laweyan, atau di Batik Putra Laweyan, misalnya, ndalem dan senthong itu digunakan untuk memajang batik. ”Suasana heritage-nya terasa. Enggak kayak masuk ke toko atau galeri batik,” kata Diana (50), warga Jakarta, tentang gerai batik Laweyan.

Di Batik Mahkota Laweyan milik keluarga Alpha Febela Priyatmono, wisatawan bisa belajar membuat batik tulis dengan bahan pewarna alam. Bukan hanya batik, sejumlah jejak sejarah kini disuguhkan di Laweyan dengan pendekatan turistik.

Sebuah bungker, lubang bawah tanah, misalnya, menjadi daya tarik wisata. Bungker terletak di rumah yang konon merupakan rumah peninggalan abdi dalem Kerajaan Pajang, Hangabehi Kertayuda. Dulunya, konon pula, bungker itu terhubung dengan bungker lainnya di Laweyan. Ada pula makanan berupa ledre intip, sampai apem yang kini dijajakan sebagai kuliner Laweyan. Bisa juga dibawa sebagai oleh-oleh.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Gunanto menjelaskan keberadaan bunker yang ada di Kampung Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/7/2013). Bunker tersebut pada masa penjajahan sering digunakan oleh para pejuang untuk tempat perlindungan.
Namun, masih ada oleh-oleh lain, yaitu semangat para mbok mase, ibu-ibu rumah tangga yang memegang peran penting dalam usaha batik Laweyan. Sejarawan Soedarmono dari Univesrsitas Sebelas Maret (UNS), Solo, dalam tesis pascasarjananya (1987) menyebut para mbok mase sebagai perempuan yang ulet dan ubet, alias rajin tekun, tabah, tangguh, dan cekatan bekerja.

Mereka disebut sebagai orang-orang dengan ”Rasa percaya diri, hemat, tidak tertarik pada gaya hidup foya-foya, dan tidak gila hormat...”, tulis Soedarmono. (Mawar Kusuma & Frans Sartono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com