Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Kesultanan Pajang ke Kampoeng Batik

Kompas.com - 15/08/2013, 09:42 WIB

Sulaiman adalah generasi keenam keturunan juragan batik Akrom yang memulai usaha sejak awal era 1850. Sempat jatuh bangun dalam usaha batik, Sulaiman dan kerabatnya melestarikan batik Laweyan. Mereka belajar fleksibel dengan memproduksi beragam motif batik, seperti batik Papua, batik Riau, hingga batik Malaysia.

Inovasi, menurut Sulaiman, menjadi kunci utama bangkitnya batik Laweyan. Pengusaha batik di Laweyan seperti Sulaiman kini tak lagi menutup diri seperti pada masa nenek moyang. ”Perusahaan batik harus belajar terbuka. Generasi muda harus dianggap sebagai mitra. Order ekspor harus dibagi juga kepada mereka, jangan jadi rahasia perusahaan,” kata Sulaiman.

Selain Sulaiman, kini juga cukup banyak pengusaha batik Laweyan yang menembus pasar ekspor. Pemilik Batik Pria Tampan H Nuruddin Ardani menjadi salah satu pengusaha batik Laweyan yang menembus pasar Amerika.

Dari sungai ke rumah juragan

Laweyan merupakan wilayah permukiman tua. Sungai Kabanaran yang terletak di bagian selatan Kampoeng Batik menjadi saksi bisu keberadaan Laweyan sebagai salah satu pusat ekonomi sejak masa Kesultanan Pajang (1568-1586).

Alpha Febela Priyatmanto, yang pernah meneliti morfologi kawasan Laweyan, menyebutkan, pada masa Kesultanan Pajang di Sungai Kabanaran terdapat bandar. Selain itu, juga terdapat pasar yang kini ditandai dengan tugu.

Laweyan lantas tumbuh sebagai pusat perdagangan, terutama perdagangan lawe atau benang untuk bahan tenun. Lawe dan tenun dijual dengan rakit sebagai angkutan sungai melalui Bandar Kabanaran menuju Bengawan Solo, lantas menyebar ke sejumlah daerah di Jawa.

Dari industri perdagangan tenun itu, terjadi pergeseran ke pembuatan batik. ”Batik diproduksi di sebelah utara sungai. Lalu dibawa ke selatan atau ke sungai untuk dicuci, dan dijemur di tepi sungai,” kata Alpha, Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan yang juga dosen Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Morfologi kawasan Laweyan berubah ketika transportasi darat berkembang dan transportasi sungai menyurut. Seiring dengan itu, produksi batik mulai menggunakan air sumur yang digali di rumah warga. Begitu juga proses penjemuran dilakukan tak lagi di tepi sungai. Pembuat batik menjemur batik dengan membangun loteng-loteng yang terletak di samping atau di belakang rumah para pengusaha batik. ”Perkembangan itu memengaruhi morfologi kawasan menjadi kluster-kluster,” kata Alpha.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Rumah yang pernah dihuni Haji Samanhoedi, pengusaha batik Laweyan dan juga pendiri Serikat Dagang Islam, terletak di lorong sempit khas Laweyan.
Pada masa kejayaan batik di awal era 1900-an tumbuhlah kluster-kluster dengan tembok setinggi 3 sampai 5 meter. Di balik tembok terdapat rumah gedongan mirip istana kecil plus pabrik batik. Itulah bagian dari sisa-sisa kejayaan batik Laweyan yang kini bisa dilihat antara lain di Roemahku atau Ndalem Tjokrosoemartan.

”Drajat, semat, dan pangkat”

Soedarmono, sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, menyebutkan rumah gedongan milik saudagar Laweyan itu merupakan simbol status, identitas sosial pemiliknya. Dalam tesis S-2-nya Soedarmono menyebutkan para saudagar Laweyan sebagai orang Jawa yang telah mendapatkan apa yang dicita-citakan sesuai falsafah orang Jawa, yaitu drajat, semat, dan pangkat atau status, kekayaan, dan kedudukan. Kekayaan telah mengangkat status sosial mereka, sejajar dengan status priayi atau bangsawan.

”Menurut mereka, hanya dengan kerja keras, hemat, dan disiplin tinggi, kedudukan dan kekayaan itu akan diperoleh tanpa mengorbankan harga diri, di bawah perintah orang lain...” kata Soedarmono.

Sebuah modal sosial bagi bangsa bermartabat. (Mawar Kusuma & Frans Sartono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com