Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik Kemegahan Masa Lalu

Kompas.com - 15/08/2013, 18:03 WIB
Kain-kain batik kuno itu terbentang pada gawangan kayu. Ia seolah bentangan jalan menuju masa lalu yang megah dengan karya seni tinggi. Karya itu bercerita tentang makna dan rasa suatu masa....

Perjalanan ke masa lalu ini diawali ketika kaki melangkah masuk ke Ndalem Wuryaningratan. Bangunan yang berarsitektur Jawa-Belanda di Jalan Slamet Riyadi, yang menjadi urat nadi Kota Solo, Jawa Tengah, itu sudah berdiri sejak tahun 1890. Halamannya luas dan asri dengan kolam berpatung manusia dan buaya.

Beberapa pekan lalu, Kompas dan beberapa media yang diundang PT Batik Danar Hadi berkesempatan menilik keindahan Ndalem Wuryaningratan hingga ke sudut kamar-kamar tidurnya yang luas dan lengkap dengan perabot masa lalu yang apik terpelihara. Tampak luar bangunan ini bernuansa Eropa, kontras dengan penataan ruang di dalamnya yang berpegang pada konsep rumah bangsawan Jawa.

Ndalem Wuryaningratan semula merupakan kediaman Kanjeng Pangeran Woerjaningrat. Ia adalah menantu Susuhunan Paku Buwono X dari Keraton Kasunanan Surakarta yang dikenal sebagai raja terkaya dalam sejarah raja Jawa.

H Santosa Doellah, pemilik PT Batik Danar Hadi, membeli Ndalem Wuryaningratan pada tahun 1997. Bangunan itu kemudian dipugar menjadi ”House of Danar Hadi” dengan mempertahankan keutuhan bangunan aslinya sebagai cagar budaya.

Menelusuri Ndalem Wuryaningratan memang serasa mencicipi kemegahan masa lalu, tetapi tak sebatas sampai di situ. Di sini, kemegahan masa lalu bukan sekadar ditandai dengan peninggalan bangunan yang memukau, melainkan juga dihadirkan oleh batik, karya seni tinggi yang dilukis dengan canting.

Di kompleks Ndalem Wuryaningratan, tepatnya di sebelah timur bangunan utama, terdapat Museum Batik Danar Hadi. Sekitar 500 kain batik kuno koleksi pribadi H Santosa Doellah dipajang. Sebagian besar koleksi Santosa Doellah—berjumlah total hampir 11.000 kain kuno—tersimpan di kediaman pribadinya.

Namun, 500 kain kuno yang dipilih untuk dipajang di museum itu cukup bercerita tentang warisan tradisi batik Indonesia yang begitu kaya. Kain-kain ini ditata secara tematik di 11 ruangan. Foto-foto tua yang merekam bagaimana kain-kain itu, yang dikenakan para bangsawan pada masa lalu, juga dipajang secara tematik dan menjadi daya tarik tersendiri.

Wangi bunga merebak ketika memasuki museum yang didesain serasi dengan Ndalem Wuryaningratan. ”Bunga ini pengharum ruangan alami karena pewangi kimia bisa berpengaruh ke kondisi batik, apalagi batik tua yang dibuat dengan pewarna alami,” kata Asisten Manajer Museum Batik Danar Hadi Asti Suryo.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Pewarnaan batik.
Kain-kain batik kuno yang tak ternilai harganya di museum ini tak dipajang di balik kaca lemari, melainkan dibentangkan di perentang kayu. Tidak boleh disentuh, tetapi bisa diamati dari jarak dekat sampai pada titik-titik halus yang menjadi bagian dari motifnya. Untuk mencegah serangga, di belakang bentangan kain ditaruh kantong-kantong transparan berisi lada putih.

Batik bercerita

Di museum ini, batik ditata berdasarkan pengaruh zaman dan lingkungan. Di Keraton Mataram, batik berkembang sejak abad ke-7 ketika canting mulai dibuat. Batik dari empat keraton di Solo dan Yogyakarta yang merupakan pecahan Mataram juga bisa ditemukan di sini dengan kekhasan corak masing-masing.

Yang tak kalah menarik adalah cerita tentang makna di balik corak-corak batik. Motif satriya manah, misalnya, dikenakan pria saat melamar, sedangkan semen rante dikenakan perempuan yang menerima lamarannya.

Di antara batik keraton dalam museum terdapat dodot—kain batik sepanjang 4 meter—yang dikenakan Paku Buwono X saat pernikahannya dengan putri Keraton Yogyakarta pada tahun 1920. Ada juga kemben dengan tengahan yang hanya dikenakan oleh permaisuri untuk membedakannya dengan istri-istri lain karena raja selalu punya banyak istri.

Perang dingin Keraton Surakarta dan Yogyakarta yang sama-sama lahir dari Mataram—dipecah Belanda pada tahun 1755—pun tergambar pada batik. Motif geometris parang yang dipakai keluarga raja, misalnya, selalu dipakai dari arah kanan ke kiri di Surakarta, sedangkan di Yogyakarta, selalu dari kiri ke kanan. Motif slobog bisa dipakai untuk berbagai keperluan di Yogyakarta, tetapi di lingkungan Keraton Surakarta hanya dipakai untuk penutup jenazah.

Pengaruh zaman nyata pula pada batik Belanda. Batik yang diproduksi pengusaha Indo-Belanda dengan pembatik-pembatik pribumi ini bercitarasa Eropa, diproduksi sekitar tahun 1840-1910. Pembatik Jawa yang bekerja untuk para noni Belanda dapat menuangkan dongeng populer Eropa, seperti ”Putri Salju”, ”Hanzel dan Gretel”, dan ”Kisah si Topi Merah”, menjadi motif batik. Batik Metzelaar dan Van Zuylen yang terkenal dengan ragam hias halus juga bisa dinikmati di sini.

Pada masa penjajahan, dibuat pula batik Perang Diponegoro. Namun, yang termuat sebagai motif hanya gambar tentara kompeni dan persenjataan mereka. Tidak ada gambar Pangeran Diponegoro dan pasukannya.

Sebelum tahun 1910, batik yang dibuat pengusaha keturunan China memuat ragam hias binatang dari mitos China, seperti naga, burung hong, dan singa berkepala anjing. Setelah tahun 1910, batik China mengadopsi motif bunga, dedaunan, dan kupu-kupu dari batik Belanda. Pada batik China dikenal istilah batik ”Tiga Negeri” dengan motif yang memuat warna merah, biru, dan soga.

Tiap lembar kain batik Tiga Negeri diwarnai di tiga daerah. Motif merah diwarnai di Lasem, biru di Kudus atau Pekalongan, sedangkan soga di Surakarta atau Yogyakarta. Bayangkan jarak yang mesti ditempuh untuk membuat selembar kain batik di zaman ketika kemudahan transportasi masih jauh dari bayangan.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Koleksi Batik Danar Hadi Surakarta.
Di sejumlah daerah, batik mempunyai kekhasan corak dan warna tersendiri. Semua menyimpan cerita. Melihat keindahan batik yang bernilai seni tinggi tidak akan lengkap tanpa memahami pula bagaimana proses produksinya. Museum ini menunjukkan pula tahapan dari kain mori putih hingga jadi batik, serta bahan–bahan yang dibutuhkan untuk itu.

Perjalanan melihat kemegahan warisan budaya meninggalkan bekas lebih dalam di hati ketika kami mencoba mengguratkan malam (lilin) batik dengan canting bersama para pembatik di bengkel kerja yang ada di belakang museum. Terdapat sekitar 300 pembatik yang bekerja memproduksi batik tulis dan cap di bengkel itu.

Bau malam yang dipanaskan dengan tungku-tungku kecil sungguh menggoda. Namun, melukiskan pola batik sederhana sekalipun sungguh tak mudah bagi tangan yang tak biasa. Sungguh warisan budaya yang berharga. (Nur Hidayati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com