Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyoman Nuarta Terbang Kembali...

Kompas.com - 18/08/2013, 20:13 WIB

Menurut pematung yang dianggap membawa angin baru dalam seni patung dunia itu, hampir semua seniman besar dunia memiliki kemampuan manajemen untuk mewujudkan karya-karya besarnya. GWK tidak hanya membentuk tubuh patung, tetapi juga membutuhkan kajian-kajian dari berbagai bidang ilmu.

Patung ini, misalnya, harus tahan terhadap gempa berkekuatan 7,5 skala Richter dan tahan terhadap terpaan angin yang kencang. ”Saya sudah melakukan pengetesan daya tahan patung terhadap angin di Australia dan nanti tes lagi di Kanada. Juga melibatkan konstruktor baja untuk menyangga tubuh patung. Semua itu dipadukan sehingga butuh manajemen kerja yang sempurna,” katanya.

Anda juga dicap memupuk keuntungan pribadi lewat GWK?

Buktinya sekarang GWK sudah milik orang lain. Saya tidak punya saham sepeser pun….

Mengapa?

Saya sudah tawarkan ini ke pemerintah, tetapi tidak ada respons. Patung ini sudah melewati masa lima presiden, tetapi belum juga selesai. Bangunan yang sezaman, seperti Menara Kembar di Malaysia, sudah lama selesai. Saya masih punya komitmen untuk tidak menjualnya kepada investor asing. Buat saya yang penting selesai. Sekarang saya hanya bekerja sebagai pematungnya, tidak lagi menjadi pemilik atau pengelola kawasan. Sebelum saya jual, satu klausul saya bahwa patung GWK harus jadi. Saya tidak akan jual kepada investor yang tidak memiliki komitmen pada kebudayaan.

Bagaimana memadukan komitmen kebudayaan itu dengan bisnis?

Selama ini industri pariwisata kita tumbuh karena investasi kebudayaan di masa lalu, kan? Dulu tempat suci, seperti pura di Bali dan gereja-gereja di Eropa, tidak pernah dibangun dengan kesadaran industri. Namun, di abad modern, tempat-tempat itulah yang menjadi tujuan favorit para wisatawan. Nah, GWK dibangun atas dasar perpaduan kesadaran kebudayaan dan industri. Kita bangun patung sebagai karya seni yang monumental lalu kawasan penunjangnya didesain untuk mewadahi kepentingan industri. Tanpa patung itu, kawasan wisatanya juga tidak akan tumbuh. Kalau cuma membangun galeri, artshop, atau convention hall, belum menjamin pariwisata itu akan berkembang karena itu justru produk ikutannya.

Patung GWK digagas Nyoman Nuarta tahun 1993, tetapi batu pertamanya baru diletakkan tahun 1997 di kawasan perbukitan kapur yang terbengkalai. Pembangunannya kemudian terhenti karena persoalan dana. Kawasan yang tadinya dirancang memiliki luas lahan 200 hektar, kini, hanya berhasil membuka areal seluas 60,7 hektar. Bahkan, Nuarta hanya berhasil ”menyelesaikan” patung Wisnu setengah badan tanpa tangan. Setidaknya, untuk menyelesaikan pembuatan patung dibutuhkan dana tak kurang dari Rp 150 miliar.

Secara keseluruhan, patung ini akan memiliki tinggi 126 meter dengan rentang sayap garuda sejauh 60 meter. Sebagai pembanding untuk menandai kebesarannya, patung Liberty di Amerika Serikat memiliki tinggi 93 meter. Bahkan, volume GWK 11 kali lebih besar dibandingkan dengan patung Liberty.

Nuarta menyebut teknologi pembangunan GWK sebagai teknik pembesaran skala dan pola segmentasi. Temuan ini bisa memprediksi secara akurat volume fisik sehingga bisa memperhitungkan efisiensi perencanaan, biaya, dan pengerjaan. Sederhananya, Nuarta membuat skala pembesaran patung dan kemudian membuat modul-modul secara melintang. Modul-modul itulah yang kemudian dipasang sebagaimana puzzle. Teknik ini sudah dibuktikan dengan pembangunan Monumen Jalesveva Jayamahe di Markas Besar Angkatan Laut Surabaya dengan ketinggian 30,6 meter.

Sebagai seniman besar, Anda punya obsesi lain?

Kalau GWK ini selesai, mungkin kita akan memiliki satu penanda zaman, di mana bangsa kita akan berdiri sejajar dengan bangsa lain. Jujur saya katakan modal kita ”cuma” kebudayaan. Itu jalan paling memungkinkan untuk mengangkat martabat bangsa ini. Saya cuma ingin di GWK nanti akan berlangsung agenda rutin semacam world cultural forum. Semua negara yang menonjol dari sisi kebudayaan duduk sejajar di GWK untuk membicarakan kebudayaan dunia. Tentu akan ada pentas-pentas kesenian dari seluruh Nusantara. Itu dialog paling manusiawi di tengah kecamuk perang yang seolah tanpa jeda....

Apa tempat semacam GWK terbuka terhadap kebudayaan lain?

Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Boleh berbeda-beda, tetapi, kan, esensinya kita satu. Itu sudah disebut dalam kitab Sutasoma di abad sebelum Majapahit. Keragaman kultural yang kita miliki itu sebuah keniscayaan ibarat fakta semesta yang tak terbantahkan. GWK salah satu tempat untuk merawat keragaman kultural itu....

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com