Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyoman Nuarta Terbang Kembali...

Kompas.com - 18/08/2013, 20:13 WIB
SELAMA sepekan terakhir Nyoman Nuarta (62) terbaring di rumah sakit. Ia kembali harus menjalani operasi sumbatan saluran urine. Meski tampak pucat, ia tipe manusia yang tak pernah menyerah....

Dari atas pembaringan, Selasa (13/8/2013), di sebuah rumah sakit di Bandung, Nuarta tetap menggebu bercerita seputar keinginannya merampungkan patung Garuda Wisnu Kencana (GWK).

Sebelumnya, Selasa (23/7/2013), di bawah langit cerah dan sinar matahari yang menembus dedaunan dari Studio NuArt di kawasan Setra Duta, Sukajadi, Bandung, 12 truk kepingan patung GWK siap diberangkatkan ke Bali. Keping-keping lempeng tembaga yang dilas kuningan itu tak lain adalah irisan-irisan melintang patung raksasa yang akan menjulang dengan ketinggian 276 meter di atas permukaan laut.

Nyoman Nuarta tampak semringah. Sudah lebih dari 25 tahun ia melontarkan gagasan pembangunan kawasan taman kebudayaan di Bukit Balangan, Ungasan, Bali. Namun, sejak peletakan batu pertama, Minggu, 8 Juni 1997, ia cuma berhasil menyelesaikan sebagian kawasan serta separuh tubuh Dewa Wisnu tanpa tangan.

Hambatan tidak hanya muncul lantaran debat tak berkesudahan soal pantas tidaknya proyek yang dianggap mercusuar itu dibangun di saat bangsa Indonesia sedang dilanda krisis, tetapi juga merembet ke soal-soal religi dan kosmologi. Bahkan, Nuarta dituding sebagai seniman yang tidak peka. Ia tak lebih dari pengusaha yang ujung-ujungnya menimbun harta kekayaan pribadi di atas penderitaan rakyat sekitar yang miskin.

”Kini, nyatanya 2.000 sampai 3.000 wisatawan datang ke GWK setiap hari walau patungnya sendiri belum jadi…,” kata Nuarta sengit dalam beberapa kesempatan wawancara, akhir Juli 2013, di Bandung dan Jakarta.

Soal tuduhan menyingkirkan warga akibat proyek itu, Nuarta memberi bukti bahwa 80 persen karyawan di kawasan GWK berasal dari warga sekitar. ”Anda bisa cek sendiri...,” ujar seniman kelahiran Penebel, Tabanan, Bali, ini.

DOK INDONESIA.TRAVEL Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana atau sering disingkat GWK, adalah sebuah taman wisata sekaligus jendela seni dan budaya di bagian selatan Pulau Bali.
Kini, peletakan batu pertama GWK akan dilakukan kembali pada Jumat (23/8/2013). Apakah Garuda Wisnu akan berhasil terbang dan menjadi ikon pariwisata baru Indonesia?

Apa, sih, yang membuat Anda begitu ngotot membangun GWK?

Ingat, lho, ini tak sekadar membangun patung Garuda Wisnu. Ini kawasan cultural park di mana patung Garuda Wisnu menjadi landmark-nya. Di dalamnya ada museum, galeri, panggung pementasan, convention hall, ruang pameran, art shop, arena bermain, dan danau-danau buatan. Idealnya saya ingin tunjukkan bahwa bangsa kita bisa eksis bersaing dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Kalau di sektor teknologi dan ekonomi kita kalah, sektor kebudayaan kita bisa bersaing.

Maksudnya?

Ya, lewat sektor kebudayaan ini pariwisata kita bisa berkembang. Anda lihat coba, sebagian besar destinasi wisata di Bali, misalnya, warisan leluhur yang dibangun antara abad ke-9 dan ke-13, di mana kita mendapati Pura Besakih, Tanah Lot, Uluwatu, serta pantai-pantai dan gunung-gunung pemberian alam. Lalu, mana karya manusia modern? Kita, kan, juga ingin meninggalkan sesuatu yang bisa diwariskan kepada generasi berikut. Saya bisa membuat patung dengan teknologi skala pembesaran, yang mungkin satu-satunya di dunia, kan, juga ingin memberi. Jangan cuma bisa mengambil....

Anda dituduh sebagai seniman yang pengusaha. Ada tanggapan?

Lho, apa salahnya? Saya harus memiliki entrepreneurship untuk bisa mengatur manajemen kerja. Tadi, kan, Anda sudah lihat, pengerjaan patung ini melibatkan lebih dari 200 orang. Itu hanya tukang las dan pembentuk konstruksi keping-kepingnya. Belum lagi pekerja konstruksi tubuh patung nanti. Itu bisa beberapa kali lipat jumlahnya. Kalau saya tidak memiliki kemampuan manajemen yang memadai, mana mungkin membuat proyek sebegini besar.

Manajemen kerja

Menurut pematung yang dianggap membawa angin baru dalam seni patung dunia itu, hampir semua seniman besar dunia memiliki kemampuan manajemen untuk mewujudkan karya-karya besarnya. GWK tidak hanya membentuk tubuh patung, tetapi juga membutuhkan kajian-kajian dari berbagai bidang ilmu.

Patung ini, misalnya, harus tahan terhadap gempa berkekuatan 7,5 skala Richter dan tahan terhadap terpaan angin yang kencang. ”Saya sudah melakukan pengetesan daya tahan patung terhadap angin di Australia dan nanti tes lagi di Kanada. Juga melibatkan konstruktor baja untuk menyangga tubuh patung. Semua itu dipadukan sehingga butuh manajemen kerja yang sempurna,” katanya.

Anda juga dicap memupuk keuntungan pribadi lewat GWK?

Buktinya sekarang GWK sudah milik orang lain. Saya tidak punya saham sepeser pun….

Mengapa?

Saya sudah tawarkan ini ke pemerintah, tetapi tidak ada respons. Patung ini sudah melewati masa lima presiden, tetapi belum juga selesai. Bangunan yang sezaman, seperti Menara Kembar di Malaysia, sudah lama selesai. Saya masih punya komitmen untuk tidak menjualnya kepada investor asing. Buat saya yang penting selesai. Sekarang saya hanya bekerja sebagai pematungnya, tidak lagi menjadi pemilik atau pengelola kawasan. Sebelum saya jual, satu klausul saya bahwa patung GWK harus jadi. Saya tidak akan jual kepada investor yang tidak memiliki komitmen pada kebudayaan.

Bagaimana memadukan komitmen kebudayaan itu dengan bisnis?

Selama ini industri pariwisata kita tumbuh karena investasi kebudayaan di masa lalu, kan? Dulu tempat suci, seperti pura di Bali dan gereja-gereja di Eropa, tidak pernah dibangun dengan kesadaran industri. Namun, di abad modern, tempat-tempat itulah yang menjadi tujuan favorit para wisatawan. Nah, GWK dibangun atas dasar perpaduan kesadaran kebudayaan dan industri. Kita bangun patung sebagai karya seni yang monumental lalu kawasan penunjangnya didesain untuk mewadahi kepentingan industri. Tanpa patung itu, kawasan wisatanya juga tidak akan tumbuh. Kalau cuma membangun galeri, artshop, atau convention hall, belum menjamin pariwisata itu akan berkembang karena itu justru produk ikutannya.

DOK INDONESIA.TRAVEL Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana atau sering disingkat GWK, adalah sebuah taman wisata sekaligus jendela seni dan budaya di bagian selatan pulau Bali.
Patung GWK digagas Nyoman Nuarta tahun 1993, tetapi batu pertamanya baru diletakkan tahun 1997 di kawasan perbukitan kapur yang terbengkalai. Pembangunannya kemudian terhenti karena persoalan dana. Kawasan yang tadinya dirancang memiliki luas lahan 200 hektar, kini, hanya berhasil membuka areal seluas 60,7 hektar. Bahkan, Nuarta hanya berhasil ”menyelesaikan” patung Wisnu setengah badan tanpa tangan. Setidaknya, untuk menyelesaikan pembuatan patung dibutuhkan dana tak kurang dari Rp 150 miliar.

Secara keseluruhan, patung ini akan memiliki tinggi 126 meter dengan rentang sayap garuda sejauh 60 meter. Sebagai pembanding untuk menandai kebesarannya, patung Liberty di Amerika Serikat memiliki tinggi 93 meter. Bahkan, volume GWK 11 kali lebih besar dibandingkan dengan patung Liberty.

Nuarta menyebut teknologi pembangunan GWK sebagai teknik pembesaran skala dan pola segmentasi. Temuan ini bisa memprediksi secara akurat volume fisik sehingga bisa memperhitungkan efisiensi perencanaan, biaya, dan pengerjaan. Sederhananya, Nuarta membuat skala pembesaran patung dan kemudian membuat modul-modul secara melintang. Modul-modul itulah yang kemudian dipasang sebagaimana puzzle. Teknik ini sudah dibuktikan dengan pembangunan Monumen Jalesveva Jayamahe di Markas Besar Angkatan Laut Surabaya dengan ketinggian 30,6 meter.

Sebagai seniman besar, Anda punya obsesi lain?

Kalau GWK ini selesai, mungkin kita akan memiliki satu penanda zaman, di mana bangsa kita akan berdiri sejajar dengan bangsa lain. Jujur saya katakan modal kita ”cuma” kebudayaan. Itu jalan paling memungkinkan untuk mengangkat martabat bangsa ini. Saya cuma ingin di GWK nanti akan berlangsung agenda rutin semacam world cultural forum. Semua negara yang menonjol dari sisi kebudayaan duduk sejajar di GWK untuk membicarakan kebudayaan dunia. Tentu akan ada pentas-pentas kesenian dari seluruh Nusantara. Itu dialog paling manusiawi di tengah kecamuk perang yang seolah tanpa jeda....

Apa tempat semacam GWK terbuka terhadap kebudayaan lain?

Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Boleh berbeda-beda, tetapi, kan, esensinya kita satu. Itu sudah disebut dalam kitab Sutasoma di abad sebelum Majapahit. Keragaman kultural yang kita miliki itu sebuah keniscayaan ibarat fakta semesta yang tak terbantahkan. GWK salah satu tempat untuk merawat keragaman kultural itu....

Bagaimana Anda menjamin ini karena GWK sudah bukan milik Anda lagi? Tidak khawatir jalannya melenceng dari misi dan gagasan Anda semula?

Sebelum deal secara finansial, saya harus tahu siapa calon investor itu. Setelah itu, saya ajukan beberapa klausul tentang ide dan keberadaan GWK yang mengemban misi kebudayaan. Itu di atas segalanya. Kebetulan investor ini sudah menjadi perusahaan publik. Jadi, nanti publik yang bisa mengontrolnya. Kalau dia melenceng dari arah semula, imbasnya, sahamnya akan anjlok. Itu risikonya.

Apa Anda masih ada celah untuk turut mengontrol?

Mereka tadinya orang bisnis totok. Di situ peran saya akan sangat besar. Segala hal yang menyangkut kebudayaan dan berkaitan dengan GWK praktis masih di bawah kontrol saya. Itu syarat kalau kawasan ini mau berhasil. Dari awal, kan, sudah jelas kawasan ini dibangun untuk memajukan kebudayaan.

Jaminan Anda?

Kredibilitas saya sebagai seniman dipertaruhkan. Saya sudah tidak ingin apa-apa lagi. Cuma ingin meninggalkan karya untuk diwariskan kepada generasi nanti. Karya saya sudah bertebaran dari New York sampai Timor Leste. Masak buat negara dan tanah kelahiran saya tidak membuat sesuatu yang monumental. Itu murni tantangan saya sebagai seniman....

Nama Nyoman Nuarta mencuat dalam percaturan kesenian Tanah Air semasih mahasiswa memenangi sayembara pembuatan patung Proklamator di Jakarta. Ia mengalahkan para dosen dan senior-senior pematung lain. Ketika mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuarta turut menjadi motor Gerakan Seni Rupa Baru bersama Jim Supangkat. Karya-karyanya yang bercorak realistik dengan volume yang ringan dianggap menyempal dari arus besar seni patung yang mengutamakan dimensi bentuk di ITB sekitar tahun 1970-an.

DOK INDONESIA.TRAVEL Garuda Wisnu Kencana berada di atas dataran tinggi batu kapur dan dari sana Anda dapat memandang panorama kawasan wisata di pesisir selatan Bali.
Sejak menggarap patung Proklamator itulah Nuarta sadar bahwa pematung tidak bisa bekerja cuma sebagai seniman. ”Dia juga harus mengerti art management. Maka, saya buat perusahaan sewaktu masih mahasiswa,” tutur suami dari Cynthia Nuarta ini. Dari situ ia bergerak dan memperkenalkan patung sebagai bagian dari rancangan outdoor yang memiliki nilai estetika tinggi. Mulailah perumahan, mal, pemerintah daerah, dan beberapa negara ”menyadari” bahwa karya-karya Nuarta bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari penataan satu kawasan. Tak heran jika kemudian patung-patung karyanya dipajang di perumahan-perumahan, mal, perkantoran, markas tentara, rumah pribadi, kedutaan, dan tempat-tempat lain yang menghargai keindahan.

Anda bahkan membangun sculpture park di Setra Duta seluas 3 hektar lebih. Untuk apa semua ini sebenarnya?

Saya tidak main-main dengan pekerjaan saya. Semua, kan, terbuka untuk publik. Begitulah seharusnya patung itu diperlakukan. Ia bagian dari cara kita menghargai keindahan pemberian semesta…. (Putu Fajar Arcana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com