Candi Cangkuang ditemukan tahun 1966 oleh Tim Sejarah Leles berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku notulen Bataviaasch Genootshap (1893).
Dalam notulen itu Vorderman menulis tentang adanya makam tua dan patung Dewa Syiwa di sana. Saat pertama ditemukan kembali, kondisi Candi Cangkuang dalam bentuk reruntuhan, batu candi yang tersisa dan berserakan hanya tinggal sekitar 40 persen saja. Pasalnya banyak batu-batu candi diambil oleh warga sekitar untuk digunakan sebagai batu nisan. Jadi yang kita lihat saat ini adalah hasil rekonstruksi para ahli dan dibangun kembali menggunakan batu-batu yang sebagian besar bukan aslinya lagi.
Hanya berjarak kurang dari empat meter di sebelah kanan candi terdapat makam tua yang dipercaya sebagai kuburan Mbah Eyang Dalem Arief Muhammad yaitu tokoh penyebar agama Islam di daerah Leles dan sekitarnya.
Menurut keterangan petugas di sana, tokoh Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram Islam sekitar Abad 17 yang menurut ceritanya merupakan utusan kerajaan untuk menyerang Belanda ke Batavia. Namun, karena gagal dalam tugas dan malu bila harus pulang ke Mataram maka dia memilih untuk menetap di sekitar Situ Cangkuang.
Keturunan asli garis perempuan Arief Muhammad sampai saat ini masih menetap tidak jauh dari makam tua dan candi tersebut yaitu di Desa Adat Kampung Pulo. Mereka sangat taat dalam menjaga tradisi yang diwariskan.
Bagi anak laki-laki yang sudah menikah harus keluar dari dari kampung kecil itu meski umumnya mereka masih tinggal di sekitar Situ Cangkuang. Di sana juga ada larangan memelihara ternak berkaki empat, seperti kerbau, sapi, kambingbdan yang unik adalah larangan memukul gong besar.
Pengaruh Hindu juga masih terasa dalam masyarakat Kampung Pulo, seperti tidak bekerja di ladang pada hari Rabu dan menggunakan dupa dan sesaji saat berdoa di makam.
Persis di depan Makam Eyang Dalem Arief Muhammad terdapat museum sederhana yang menyimpan koleksi berupa naskah-naskah kuno berbahasa Arab tentang ajaran Agama Islam yang ditulis tangan di atas kulit kayu dan kulit kambing, foto-foto saat pemugaran candi serta lukisan besar ilustrasi Mbah Eyang Dalem Arief Muhammad.
Untuk menyeberang ke Pulo Panjang yang hanya beberapa ratus meter saja dari tepi danau kita harus menggunakan rakit wisata yang disediakan pihak pengelola.
Tetapi sangat disayangkan sebagai salah satu obyek wisata andalan di Kabupaten Garut, di depan pintu masuk Cagar Budaya itu kurang ditata dengan baik, tempat parkir kotor dan becek serta kios-kios pedagang yang letaknya tidak beraturan.
Burayot
Ibarat makanan kurang garam begitupun bila jalan-jalan tanpa mencoba makanan khas setempat. Di Garut khususnya di sekitar Situ Cangkuang terdapat kue tradisional yang tidak ditemukan di daerah lain, namanya Burayot. Bentuknya seperti buah salak kecil, terbuat dari tepung beras dan gula merah, rasanya seperti kue cucur tetapi lebih legit dan nikmat.
Hari belum terlalu siang saat kami selesai berkeliling dan menikmati pemandangan alam di kawasan cagar budaya tersebut. Kami pun memutuskan menghabiskan sisa hari itu untuk mengunjungi Taman Wisata Cagar Alam Kamojang atau sering disebut Kawah Kamojang, sebuah kawasan wisata geologi di pinggir hutan di mana Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi pertama di Indonesia berada. (Eristo Subyandono)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.