Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rendang untuk Ananda di Rantau

Kompas.com - 29/08/2013, 15:37 WIB

Dalam buku Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau yang ditulis Mochtar Naim berdasarkan penelitiannya pada tahun 1973 disebutkan, tradisi merantau telah ada sejak abad ke-6. Ketika itu orang Minang secara berkelompok bermigrasi dari pusat peradaban mereka di luhak nan tiga (Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota) ke rantau di daerah pesisir timur dan barat untuk mencari koloni, daerah taklukan, dan daerah dagang.

Namun, gelombang merantau secara individual terjadi sekitar abad ke-19 dan ke-20 ketika kota-kota di pesisir di Sumatera tumbuh dan berkembang. Mereka datang ke sana untuk mencari pekerjaan dan berdagang. Gelombang migrasi kian meluas hingga ke Jawa pasca-kemerdekaan RI.

Muhammad Nur menjelaskan, setiap orangtua pasti akan memberi bekal lahir batin kepada anak atau kemenakannya yang hendak merantau. Bekal lahir berupa kemampuan silat, uang, dan makanan, terutama rendang yang bisa tahan selama di perjalanan. Bekal batin berupa pengetahuan agama.

”Jadi, rendang itu elemen penting sebagai bekal merantau orang Minang. Itu sebabnya, orangtua Minang meski sedang tidak punya uang, pasti berjuang membuat rendang untuk bekal merantau,” katanya.

Ia mengalami sendiri ketika hendak merantau ke Inggris untuk melanjutkan pendidikan. Ia sudah bilang kepada ibunya jangan membuatkan rendang sebab rendang sekarang bisa ditemukan di mana-mana. Ibu Muhammad Nur mengiyakannya. ”Ketika saya sampai di Inggris dan membuka koper, ternyata ada juga rendang dan sambal lado di sana ha-ha-ha,” kata Nur.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Sejumlah varian rendang dari Payahkumbuh, Sumatera Barat, Minggu (14/7/2013). Varian rendang ini diolah menjadi rendang kering dan memudahkan untuk dijadikan makanan kemasan.
Selain untuk perantau, bekal rendang juga diberikan kepada orang yang hendak menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Kebiasaan itu, kata Muhammad Nur, muncul setelah Islam masuk dan berkembang sejak abad ke-15.

Sampai sekarang, jemaah calon haji asal Minang hampir pasti membawa bekal rendang. Imang, misalnya, ketika naik haji beberapa tahun yang lalu juga menyelipkan rendang dan sambal lado di kopernya. ”Jadi, di Tanah Suci kita tetap bisa makan rendang, ha-ha-ha,” katanya.

Begitulah, bekal rendang tidak bisa dilihat sebagai sekadar santapan. Di dalamnya terselip cinta bunda kepada anak, kemenakan, dan sanak saudara di rantau. Cinta dalam sepotong rendang itulah yang membuat batin para perantau selalu terikat pada kampuang nan jauh di mato. (Budi Suwarna dan Indira Permanasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com