Tim Jelajah Kuliner Nusantara ”Kompas” berkelana sampai ke ranah Minang, asal-muasal rendang yang dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia. Dari perjalanan itu terkuak, rendang buat orang Minang bukan sekadar makanan, melainkan simbol martabat keluarga. Itu sebabnya, mereka begitu berdedikasi dan sabar memasak berjam-jam di atas tungku ”hanya” untuk menghasilkan rendang nan lezat. Tentu saja ada sejumlah liputan lain yang menelisik sisi lain tradisi makan dan masak orang Minang.
Ibu-ibu Minang itu hendak berbagi cinta kepada sanak saudara di rantau. Mereka kirim sekardus besar rendang, sambal lado, dan keripik sanjai lewat perusahaan jasa pengiriman. Begitulah, makanan buatan bunda menjadi pengikat silaturahim orang-orang di rantau.
Awal Juli di kantor Tiki di Jalan Pemuda, Bukittinggi, Sumatera Barat. Puluhan orang datang dan pergi silih berganti membawa berbagai kardus berisi makanan. Di antara mereka ada Yarnis (50), pegawai negeri sipil, yang hendak mengirim rendang, sambal lado, dendeng batokok, dan ikan karayo untuk anaknya yang merantau di Jakarta.
Ibu setengah baya itu bercerita, hampir setiap bulan ia mengirimkan makanan untuk anaknya, Suci, meski ia tahu di Jakarta bertebaran warung Minang yang menyediakan santapan serupa.
”Tapi, dia tidak mau kalau yang masak sambal lado orang lain. Katanya, rasanya kurang sedap. Jadi, setiap sambal ladonya habis, dia pasti telepon ke rumah,” kata Yarnis tentang anaknya yang sedang menuntut ilmu di sebuah politeknik kesehatan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Zulmi juga rutin mengirimkan makanan untuk anak, kakak, dan iparnya yang merantau ke Jakarta. Pagi itu ia antre di Tiki Jalan Pemuda, dengan membawa bungkusan rendang, kerupuk karak kaliang, dan keripik sanjai. Zulmi bercerita dengan riang betapa bahagia bisa mengirim makanan untuk anak dan saudara di rantau. Ia membayangkan setiap kali menyuap makanan kiriman itu, mereka akan mengingatnya.
Tradisi berbagi rendang itu melonjak setiap menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran. Saat itulah, perusahaan jasa pengiriman paket kebanjiran order. Sehari sebelum puasa, ketika siang belum lagi datang, Tiki di Jalan Pemuda telah mengirim paket sebanyak satu mobil truk besar. ”Biasanya kami hanya mengirim paket rata-rata satu mobil L300,” kata Eka Hermina, petugas Tiki di Jalan Pemuda.
Sebelum ada perusahaan jasa pengiriman, para bunda Minang biasa menitipkan makanan untuk sanak saudara di rantau lewat sopir bus antarkota antarprovinsi. Rendang dimasukkan ke dalam kaleng bekas biskuit, sementara sambal lado dimasukkan ke botol.
”Subuh-subuh kami berdiri di pinggir jalan untuk mencegat bus yang lewat. Kami titipkan makanan dan beras kepada sopir, nanti anak atau saudara kami di rantau tinggal menjemputnya di pul bus. Begitu setiap minggu,” kata Imang, bunda asal Lintau Buo, Tanah Datar, yang merantau ke Jakarta.
Sopir bus, lanjut Imang, biasanya tidak pernah meminta bayaran. Semuanya dilakukan secara sukarela sebagai sesama orang Minang. Karena itulah, orang Lintau Buo sangat menghormati sopir bus. ”Kalau tidak ada mereka, bagaimana rendang bisa sampai ke tangan sanak keluarga di rantau?” katanya.
Ibadah haji
Tidak ada catatan tertulis sejak kapan tradisi berbagi rendang kepada perantau dimulai. Namun, sejarawan dari Universitas Andalas, Muhammad Nur, yakin tradisi itu sama tuanya dengan tradisi merantau orang Minang.
Namun, gelombang merantau secara individual terjadi sekitar abad ke-19 dan ke-20 ketika kota-kota di pesisir di Sumatera tumbuh dan berkembang. Mereka datang ke sana untuk mencari pekerjaan dan berdagang. Gelombang migrasi kian meluas hingga ke Jawa pasca-kemerdekaan RI.
Muhammad Nur menjelaskan, setiap orangtua pasti akan memberi bekal lahir batin kepada anak atau kemenakannya yang hendak merantau. Bekal lahir berupa kemampuan silat, uang, dan makanan, terutama rendang yang bisa tahan selama di perjalanan. Bekal batin berupa pengetahuan agama.
”Jadi, rendang itu elemen penting sebagai bekal merantau orang Minang. Itu sebabnya, orangtua Minang meski sedang tidak punya uang, pasti berjuang membuat rendang untuk bekal merantau,” katanya.
Ia mengalami sendiri ketika hendak merantau ke Inggris untuk melanjutkan pendidikan. Ia sudah bilang kepada ibunya jangan membuatkan rendang sebab rendang sekarang bisa ditemukan di mana-mana. Ibu Muhammad Nur mengiyakannya. ”Ketika saya sampai di Inggris dan membuka koper, ternyata ada juga rendang dan sambal lado di sana ha-ha-ha,” kata Nur.
Sampai sekarang, jemaah calon haji asal Minang hampir pasti membawa bekal rendang. Imang, misalnya, ketika naik haji beberapa tahun yang lalu juga menyelipkan rendang dan sambal lado di kopernya. ”Jadi, di Tanah Suci kita tetap bisa makan rendang, ha-ha-ha,” katanya.
Begitulah, bekal rendang tidak bisa dilihat sebagai sekadar santapan. Di dalamnya terselip cinta bunda kepada anak, kemenakan, dan sanak saudara di rantau. Cinta dalam sepotong rendang itulah yang membuat batin para perantau selalu terikat pada kampuang nan jauh di mato. (Budi Suwarna dan Indira Permanasari)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.