Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nagari Elok di Tepian Singkarak

Kompas.com - 01/09/2013, 09:05 WIB

Oleh

Nagari Sumpur bagai lukisan di atas kartu pos. Kabut pagi menyelimuti perkampungan, sawah, danau, dan pepohonan, membuat segalanya berwarna lembut. Bagaimana bisa desa secantik itu ditinggal pergi sebagian penghuninya?Suasana Nagari Sumpur setenang permukaan air Danau Singkarak. Angin sejuk segar mendesau pelan mempermainkan dahan-dahan pohon sawo manila yang tumbuh subur di Sumpur. Nagari yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Batipu Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, itu memang penghasil sawo. Buah sawo dari Sumpur berasa manis-segar.

Hari masih pagi. Belum banyak aktivitas yang dilakukan warga. Hanya ada beberapa petani sedang menandur di sawah dan segerombolan burung bangau putih yang sedang mencari makan. Kami membelah jalan sempit dan berkelok menuju jantung nagari yang terletak tepat di bibir Danau Singkarak.

Semakin masuk ke nagari itu, semakin jelas pesona Danau Singkarak. Permukaan air danau diliputi kabut tipis, seolah menyimpan rahasia proses pembentukannya yang dahsyat jutaan tahun silam. Dan, rahasia itu baru sebagian saja yang bisa diungkap para ahli.

Hasil penelitian geolog senior dari Institut Teknologi Bandung, MT Zen, tahun 1970, menunjukkan, Singkarak terbentuk akibat proses tektonik dari sesar-sesar yang ada di sekitarnya. Danau ini merupakan bagian dari cekungan memanjang Singkarak-Solok yang merupakan salah satu segmen Sesar Besar Sumatera. Cekungan besar yang memanjang itu kemudian terbendung material letusan gunung api muda Marapi, Singgalang, dan Tandikat di sisi barat laut. Di sisi tenggara terbendung oleh endapan material letusan Gunung Talang (Kompas, 8/4/2012).

Maka, jadilah Danau Singkarak, danau yang membentang di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Masih ada sejumlah penelitian lain yang mencoba mengungkapkan sebagian rahasia danau seluas 107,8 kilometer persegi itu.

Tanpa bermaksud mengungkap rahasia lain Singkarak, pagi itu kami turun dari mobil dan berperahu menyusuri Danau Singkarak yang tenang. Dari tengah danau, pucuk Gunung Marapi dan Singgalang terlihat bersembunyi di antara batas awan dan bukit hijau. Ke bawah sedikit, tebing-tebing cadas yang menopang bukit menghunjam ke dalam danau.

Di antara batas air danau dan daratan, pohon-pohon kelapa tumbuh berderet. Di sanalah ibu-ibu pencari kerang biasa istirahat setelah berjam-jam berendam mengais kerang dari dasar danau. Tidak jauh dari situ, puluhan laki-laki menebar jala untuk menangkap ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dan sasau (Hampala mocrolepidota). Keduanya adalah ikan endemik bercita rasa gurih lezat. Setiap hari, puluhan bahkan ratusan kilogram ikan bilih diangkut para nelayan danau.

Rumah gadang

Kini saatnya menjamah Nagari Sumpur lebih dalam lagi melalui jalan beraspal yang kian sempit. Kami tiba di Jorong Nagari yang tumbuh di bukit dengan ketinggian 500-an meter dari atas permukaan laut. Wajah asli Tanah Minang seperti yang kita lihat di kartu pos, masih tampak di nagari itu di tengah sisa-sisa keliaran hutan Sumatera. Ketika malam, gelap menyelimuti beberapa bagian desa dengan sempurna. Tidak heran jika nagari itu kerap dipilih sejumlah sutradara sebagai lokasi syuting film berlatar cerita Tanah Minang di masa lalu.

Namun, kondisi kampung itu tak seluruhnya seindah gambar-gambar di film atau sinetron. Tengoklah, rumah-rumah gadang berusia di atas 100 tahun di nagari itu, sebagian sedang menuju kepunahannya. Gonjong-gonjongnya tak lagi gagah memanjat langit. Dinding-dindingnya menghitam dimakan usia. Beberapa rumah gadang bahkan sudah miring karena kayu penyangga utamanya terlepas.

Wali Jorong Nagari Hendri mengatakan, banyak rumah gadang di Sumpur yang sudah ambruk. Dulu—tanpa menyebut tahun—ada 200-an rumah gadang di Jorong Nagari. Kini, rumah gadang yang tersisa di seluruh Sumpur sekitar 45 buah, 25 buah di antaranya ada di Jorong Nagari. Mei lalu, rumah gadang di Sumpur berkurang lagi setelah lima rumah gadang disambar petir hingga ludes terbakar.

Hendri membawa kami ke lokasi lima rumah gadang yang terbakar itu. Kayu-kayu rumah gadang tersebut telah berubah jadi arang. Rumah gadang itu, kata Hendri, milik Munir Datuk Batuah yang ditunggui dengan setia oleh Nasri (69). Munir tinggal di Jawa. Hanya saat panen padi atau ada upacara adat saja pemilik rumah datang ke kampung.

Hendri menambahkan, rumah- rumah gadang di Sumpur sebagian besar ditinggalkan penghuninya. Itu sebabnya rumah tak terawat selama bertahun-tahun. Fenomena itu juga terjadi di daerah lain di hampir semua nagari di Sumatera Barat. Padahal, posisi rumah gadang sangat penting untuk memelihara kekerabatan orang Minang.

Mengapa rumah gadang dan nagari nan elok itu ditinggal penghuninya?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com