Seember kecil cabai segar selesai digiling Elma Yunis (40). Namun, pekerjaannya masih jauh dari selesai. Perempuan bertubuh ceking itu menuangkan seember lagi cabai merah segar ke sebuah ulekan sebesar tambah. Ia berdiri sedikit membungkuk dengan tangan mencengkeram anak batu ulekan yang ukurannya sebesar mangkuk. Kemudian, ia mulai menggerakkan anak batu itu dengan kecepatan konstan.
Kres...kres...tuk...tuk, batu penggilingan dengan cepat menghancurkan tumpukan cabai itu. Aroma pedas dan panas cabai memenuhi udara di sudut gang sempit tempat Elma bekerja. Namun, Elma sama sekali tidak terganggu. Ia juga tampak tidak kepanasan meski sekujur telapak tangannya memerah oleh percikan cairan cabai yang panas.
”Enggak apa-apa, saya sudah terbiasa dengan panasnya cabai. Ini yang saya ulek cabai jawa, kalau cabai medan lebih panas,” kata Elma saat ditemui awal Juli lalu. Meski begitu, beberapa kali ia tampak meringis seperti menahan perih.
Yusminar yang bekerja di sebelah Elma menyahut, ”Waktu pertama kali kerja menggiling cabai, tangan saya memang panas sekali. Saya harus cuci tangan berkali-kali. Sekarang sudah terbiasa, tangan saya tidak panas lagi. Mungkin kulit saya sudah tebal,” ujarnya, tertawa.
Seperti Elma, tubuh Yusminar kurus dan ringkih. Delapan tahun menggiling cabai dengan posisi setengah membungkuk membuat punggung Yusminar sedikit melengkung. Meski demikian, dia tetaplah ”mesin” penggiling cabai yang sangat produktif. Seember cabai yang digiling di atas cobek halus dalam waktu 15-20 menit.
Saat itu, waktu baru menunjukkan pukul 08.00 dan Yusminar mengaku telah menggiling empat kilogram (kg) cabai segar. Dia bilang, juara penggiling cabai di pasar itu adalah Elma. Sepagi ini, ia telah menggiling enam kg cabai atau dua kg cabai lebih banyak dari teman-temannya.
Elma dan Yusminar bekerja secara lepas di kios bumbu milik Haji Bakri di bagian tengah Pasar Ibuh Timur. Selain mereka, ada lima penggiling cabai lain di kios itu. Mereka bekerja berjejalan di dalam kios dan gang pasar yang sempit. Semakin banyak order menggiling cabai, semakin banyak pula ibu penggiling yang bergabung di kios itu. Mereka masing-masing bisa menggiling 15-30 kg cabai segar dari pagi sampai sore diselingi istirahat siang.
Hari itu di awal puasa, order menggiling cabai datang lebih banyak dari biasanya. Maklum, ibu-ibu Minang beramai-ramai memasak rendang untuk persediaan lauk selama Ramadhan. Mereka hampir pasti memilih cabai yang digiling tangan daripada cabai giling mesin. ”Rendang terbaik memang harus menggunakan cabai yang digiling dengan tangan meski harganya lebih mahal,” ujar Bakri.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.