Upik bekerja di kios milik dia sendiri yang beromzet Rp 1 juta-Rp 3 juta sehari. Kios yang dijalankan bersama keponakannya, Arif (17), itu menjual aneka bumbu segar, mulai dari jahe, kunyit, lengkuas, daun salam, bawang, bawang putih, hingga asam kandis. Ia mengatakan, sepanjang hari mulai ayam berkokok hingga matahari sebentar lagi tenggelam, ia ada di kios itu.
Di sela-sela menunggu kios, ia bekerja menggiling bawang. ”Orang Minang punya istilah sambil berdiang, nasi masak. Artinya, dalam satu waktu kita bisa mengerjakan dua pekerjaan. Tak ada waktu percuma,” kata janda dengan tiga anak yang masih kecil-kecil itu.
”Lihat tangan saya, tangan bergoyang piti (duit) datang,” kata Upik. ”Kalau dulu, kaki yang bergoyang, piti datang sebab saya tukang jahit.”
Harus perkasa
Menelusuri desa-desa di Tanah Minang, kita bisa menemukan perempuan-perempuan perkasa yang rajin bekerja. Di Lintau, Tanah Datar, seorang ibu berusia 70 tahun, yang masih kuat menumbuk beras menjadi tepung, masih dijumpai. Di Nagari Pandai Sikek, banyak pula ibu tua yang masih produktif membuat kain songket nan indah dan mewah.
Puti Reno Rhaudatuljanna Thaib, ahli waris Kerajaan Pagaruyung, mengatakan, perempuan Minang memang didorong menjadi perempuan perkasa. Pasalnya, secara sosial-budaya perempuan Minang adalah bundo kanduang, setidaknya di rumah sendiri. Dialah pemegang otoritas tertinggi di rumah gadang.
Perempuan penggiling cabai itu tak pernah menyerah. Tangannya terus bagoyang agar piti terus datang. (Budi Suwarna dan Indira Permanasari)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.