Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rendang dan Martabat Minang

Kompas.com - 04/09/2013, 09:29 WIB
ASAP putih tipis terbang melepaskan diri dari dua tungku di pekarangan rumah Rifnidar (53) di tepian Danau Singkarak, Nagari Sumpur, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Hanya sesaat setelah embun pagi menguap, tungku-tungku dari batu bersusun itu telah membakar kuali seukuran tampah berisi santan, bumbu, dan daging. Rifnidar bersama enam ibu bergantian mengaduk masakan yang belum matang di atas kuali itu dengan sutil secara perlahan. Panas tungku memeras keringat mereka, hingga membasuh wajah.

Menu yang mereka masak pagi itu merupakan menu istimewa, yakni kalio gadang yang hanya dimasak untuk keperluan adat. Kalio adalah sebutan untuk rendang yang belum sempurna. Bumbunya masih berupa kuah, bukan dedak.

Sesuai namanya, potongan daging kalio berukuran jumbo, yakni masing-masing seberat 1 kilogram. Hari itu ada tiga potong bongkahan daging dan beberapa puluh daging ukuran sekitar 5 sentimeter x 6 sentimeter yang dimasak dalam satu kuali. ”Kalau banyak-banyak, masaknya lama nian,” kata Rifnidar sambil terus mengaduk kuah kalio yang belum jadi. Sesekali, ia menyiramkan kuah santan ke atas permukaan bongkahan daging.

Hingga matahari beranjak di atas kepala, kalio gadang itu belum lagi matang. Rifnidar mengatakan masih perlu dua-tiga jam lagi untuk mengubah bumbu dan santan menjadi kalio yang lezat. Itu berarti masih ribuan kali lagi Rifnidar dan teman-temannya mengaduk kuali dengan penuh kesabaran.

Bagaimana perempuan Minang bisa begitu sabar dan penuh dedikasi memasak rendang hingga berjam-jam? Rendang buat perempuan Minang memang bukan sekadar makanan, melainkan juga simbol kehormatan dan martabat. ”Boleh saja perempuan Minang jago memasak masakan apa pun, tetapi kalau tidak bisa memasak rendang yang enak, dia jadi bahan omongan,” ujar Reno Andam Suri, penulis buku tentang masakan Minang.

Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Ketua Umum Bundo Kanduang Sumbar yang juga ahli waris takhta Kerajaan Pagaruyung, menambahkan, dalam masyarakat Minang yang berbasis matrilineal (mengikuti garis ibu), kepandaian memasak merupakan bagian penting buat perempuan yang ditempatkan sebagai bundo kanduang penguasa rumah gadang. Betapa tidak, semua perhelatan adat yang diikuti acara makan besar berlangsung di rumah gadang.

”Nah, dalam acara seperti itu makanan selalu jadi bahan pembicaraan. Kalau lezat dipuji orang, kalau tidak digunjingkan orang. Di situ martabat bundo kanduang dan kaum dipertaruhkan,” ucap Puti Reno yang akrab disapa Raudha.

Karena itulah perempuan Minang selalu berusaha menyajikan rendang terenak. Untuk itu, perempuan Minang senantiasa menggunakan bahan-bahan terbaik. Daging untuk rendang biasanya daging khas dalam yang minim lemak. Cabai merahnya harus segar dan digiling sampai halus dengan tangan, bukan mesin. Di Nagari Sumpur, bawang putih yang digunakan hanyalah dasun, yakni bawang putih bersiung tunggal yang beraroma lebih harum dan rasanya lebih gurih.

Santan yang digunakan berasal dari kelapa tua dalam jumlah masak. Rifnidar, misalnya, hari itu memasak 4-5 kilogram rendang dengan menggunakan santan dari 40 butir kelapa. Santan yang dipakai hanyalah santan dari perasan pertama dan kedua. Santan perasan pertama menggunakan air kelapa, yang kedua menggunakan air tawar.

Bahkan, kayu bakar yang digunakan pun tidak sembarangan. Mereka menggunakan batok kelapa sebagai pangkal api, selanjutnya menggunakan batang kayu manis yang telah dikupas kulitnya.

Kayu manis dipilih karena bisa menghasilkan api yang stabil. Mereka aduk rendang terus-menerus. Mereka awasi api setiap saat agar panasnya merata. Mereka benamkan waktu mereka berjam-jam demi rendang nan lezat.

Begitulah, setelah setengah harian memproses rendang—mulai dari menyiapkan bahan hingga menjerangnya di kuali—kalio gadang yang dimasak tujuh perempuan Sumpur itu akhirnya masak. Santan dan bumbu mengental dan berkilatan oleh minyak. Aroma gurih masakan itu terasa menonjok lambung yang masih kosong. Rasa lapar makin menjadi-jadi. Perempuan-perempuan itu mengangkat kalio gadang nan menggugah selera untuk acara duduk basamo atau duduk bersama membicarakan nasib lima rumah gadang yang ludes terbakar.

Acara itu diadakan di sebuah rumah gadang berusia sekitar 100 tahun menjelang petang. Aneka makanan, mulai dari singgang ikan bilih, daging asam padeh, pangek ikan sasau, sambal lado, gulai nangka, dan aneka kue, dihidangkan di ratusan piring kecil di atas lantai berlapis tikar dan kain putih.

Tiga bongkah kalio gadang diletakkan di piring di dekat para datuk dan tetua adat duduk. Sosoknya yang besar mendominasi pemandangan. Sesuai namanya, kalio gadang adalah masakan terbesar dari semua masakan yang dihidangkan. Orang Minang menyebutnya sebagai kapalo jamba atau kepala hidangan.

Setelah para tetua adat berbicara diselingi aneka pantun, acara makan dimulai. Yang tua mengambil makanan lebih dulu sebelum yang muda. Orang hanya mengambil makanan sejangkauan tangannya. Lebih dari itu bisa dianggap tak sopan. Begitulah adatnya. Kami mencecap rendang daging yang dibuat ibu-ibu Sumpur. Gurih santan dan aroma bumbu rendang terbenam ke dalam daging. Ada sedikit jejak manis santan. Lezat nian!

Rusdi, putra Sumpur yang menjadi pengusaha warung minang di rantau, mengatakan, rendang dan masakan lain untuk sajian adat selalu lebih enak daripada rendang yang dimasak untuk warung makan. ”Sebab, santan yang digunakan pasti lebih banyak,” katanya.

Dalam sekejap, semua makanan tandas dilahap tetamu kecuali kalio gadang. Tiga bongkahan itu seperti sediakala, besar, berlumur kuah kental santan yang kemerahan, dan terlihat lezat. Rupanya kalio gadang memang bukan untuk disentuh, apalagi dimakan. Dia hanya menjadi simbol kehormatan dan martabat kaum yang menggelar acara. ”Karena itu, meski tidak dimakan, kalio gadang harus ada. Jika tidak ada, acara bisa batal,” kata Rusdi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Para ibu-ibu membawa hantaran makanan untuk prosesi Mendoa di Jalan Raya Payahkumbuh-Lintau, Sumatera Barat, Senin (8/7/2013). Hantaran makanan ini dibawa dan dimasak para ibu-ibu untuk acara Mendoa (berdoa bersama dan siraman rohani) di masjid terdekat mereka dalam menyambut Bulan Puasa.
Raudha menjelaskan, ada pesan di balik kapalo jamba. Keberadaannya bukan untuk pemuas rasa lapar dan pemanja lidah, melainkan penunjuk kehormatan. Karena sekadar simbol, ada sejumlah nagari di Payakumbuh yang membuat kalio gadang untuk kapalo jambo dari kayu. Setelah dilumuri bumbu rendang, kayu itu mirip kalio gadang. ”Namun, kalau ketahuan itu kayu, bisa bikin malu,” kata Raudha.

Jika kalio gadang tak tersentuh, kalio atau rendang yang potongan dagingnya berukuran normal justru harus dinikmati. Dalam perhelatan penting, rendang diposisikan sebagai induk samba atau lauk utama. ”Begitu ada acara di rumah gadang, yang ditanya ke bundo kanduang pertama kali adalah ’mana rendangnya?’. Kalau tidak ada rendang, acara bisa batal,” ujar Raudha. (Budi Suwarna dan Indira Permanasari) 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com