Kayu manis dipilih karena bisa menghasilkan api yang stabil. Mereka aduk rendang terus-menerus. Mereka awasi api setiap saat agar panasnya merata. Mereka benamkan waktu mereka berjam-jam demi rendang nan lezat.
Begitulah, setelah setengah harian memproses rendang—mulai dari menyiapkan bahan hingga menjerangnya di kuali—kalio gadang yang dimasak tujuh perempuan Sumpur itu akhirnya masak. Santan dan bumbu mengental dan berkilatan oleh minyak. Aroma gurih masakan itu terasa menonjok lambung yang masih kosong. Rasa lapar makin menjadi-jadi. Perempuan-perempuan itu mengangkat kalio gadang nan menggugah selera untuk acara duduk basamo atau duduk bersama membicarakan nasib lima rumah gadang yang ludes terbakar.
Acara itu diadakan di sebuah rumah gadang berusia sekitar 100 tahun menjelang petang. Aneka makanan, mulai dari singgang ikan bilih, daging asam padeh, pangek ikan sasau, sambal lado, gulai nangka, dan aneka kue, dihidangkan di ratusan piring kecil di atas lantai berlapis tikar dan kain putih.
Tiga bongkah kalio gadang diletakkan di piring di dekat para datuk dan tetua adat duduk. Sosoknya yang besar mendominasi pemandangan. Sesuai namanya, kalio gadang adalah masakan terbesar dari semua masakan yang dihidangkan. Orang Minang menyebutnya sebagai kapalo jamba atau kepala hidangan.
Setelah para tetua adat berbicara diselingi aneka pantun, acara makan dimulai. Yang tua mengambil makanan lebih dulu sebelum yang muda. Orang hanya mengambil makanan sejangkauan tangannya. Lebih dari itu bisa dianggap tak sopan. Begitulah adatnya. Kami mencecap rendang daging yang dibuat ibu-ibu Sumpur. Gurih santan dan aroma bumbu rendang terbenam ke dalam daging. Ada sedikit jejak manis santan. Lezat nian!
Rusdi, putra Sumpur yang menjadi pengusaha warung minang di rantau, mengatakan, rendang dan masakan lain untuk sajian adat selalu lebih enak daripada rendang yang dimasak untuk warung makan. ”Sebab, santan yang digunakan pasti lebih banyak,” katanya.
Dalam sekejap, semua makanan tandas dilahap tetamu kecuali kalio gadang. Tiga bongkahan itu seperti sediakala, besar, berlumur kuah kental santan yang kemerahan, dan terlihat lezat. Rupanya kalio gadang memang bukan untuk disentuh, apalagi dimakan. Dia hanya menjadi simbol kehormatan dan martabat kaum yang menggelar acara. ”Karena itu, meski tidak dimakan, kalio gadang harus ada. Jika tidak ada, acara bisa batal,” kata Rusdi.
Raudha menjelaskan, ada pesan di balik kapalo jamba. Keberadaannya bukan untuk pemuas rasa lapar dan pemanja lidah, melainkan penunjuk kehormatan. Karena sekadar simbol, ada sejumlah nagari di Payakumbuh yang membuat kalio gadang untuk kapalo jambo dari kayu. Setelah dilumuri bumbu rendang, kayu itu mirip kalio gadang. ”Namun, kalau ketahuan itu kayu, bisa bikin malu,” kata Raudha.
Jika kalio gadang tak tersentuh, kalio atau rendang yang potongan dagingnya berukuran normal justru harus dinikmati. Dalam perhelatan penting, rendang diposisikan sebagai induk samba atau lauk utama. ”Begitu ada acara di rumah gadang, yang ditanya ke bundo kanduang pertama kali adalah ’mana rendangnya?’. Kalau tidak ada rendang, acara bisa batal,” ujar Raudha. (Budi Suwarna dan Indira Permanasari)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.