Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Lahan di Balik Akses Menuju Pulau Komodo

Kompas.com - 16/09/2013, 11:36 WIB
SEJAK ditetapkan sebagai New 7 Wonders of Nature, kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara ke Taman Nasional Komodo di Pulau Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, terus meningkat. Oleh sebab itu, untuk menampung jumlah turis yang membeludak, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat memperluas areal Bandar Udara Komodo di Labuan Bajo.

Saat ini, lintasan pendaratan pesawat di Bandara Komodo baru mencapai 1.850 meter, yang akan ditambah 300 meter. Harusnya, penyelesaian pembangunannya awal September lalu, tetapi hingga kini belum bisa diselesaikan. Diharapkan, jika penambahan lintasan pendaratan bisa selesai, pesawat jenis Boeing akan bisa mendarat di Labuan Bajo. Adapun landasan parkir pesawat hingga kini masih dalam proses pengerjaan.

Sebagaimana diketahui, Bandara Komodo merupakan satu-satu akses infrastruktur sebelum pengunjung melanjutkan perjalanannya dengan perahu motor menuju Pulau Komodo dari Dermaga Labuan Bajo.

Namun, perluasan bandara ternyata tak semudah yang dikira. Masyarakat adat tak mudah menerima begitu saja kemauan pemerintah. Tak ayal, terjadi silang pendapat yang dikhawatirkan berujung pada konflik lahan antara warga versus pemerintah setempat.

Koordinator Masyarakat Adat Manggarai Barat Darius Djabat, baru-baru ini, merasa tak berdaya menghadapi kekuasaan. Lahan seluas 25.000 hektar yang diklaim sebagai tanah ulayat kini dikuasai pemerintah untuk perluasan. Warga pun melawan.

Bersama 59 anggota sukunya, Djabat mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan DPR. Namun, upaya tersebut sia-sia. Tuntutan mereka agar ada ganti rugi lahan seluas 25.000 hektar dengan harga Rp 400.000 per meter persegi pun ditanggapi dingin. Warga pun terus bertahan.

Meski demikian, pemerintah jalan terus. Akhir Agustus lalu, dua alat berat terlihat terus menggusur lahan ulayat di bagian timur dan selatan Bandara Komodo. Padahal, masyarakat memasang patok, tanda batas tanah ulayat.

”Sejak nenek moyang, kami telah menguasai lahan ini, tetapi pemerintah daerah diam-diam membuat sertifikat tanah di atas lahan tanpa pengetahuan kami. Memang, kami tak punya sertifikat karena masih dalam proses karena Badan Pertanahan berlokasi cukup jauh atau sekitar 130 kilometer dari Labuan Bajo,” ujarnya.
Sebatas memantau

Kini, didampingi Sekretaris Koordinator Masyarakat Adat Agus Tutung dan sejumlah anggota, warga setiap hari memantau aktivitas perluasan Bandara Komodo oleh kontraktor. Namun, mereka tak berdaya saat bukit-bukit kecil di sekitar bandara, terutama dari arah pendaratan pesawat, diratakan. ”Kami hanya bisa memantau saja, dan tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Djabat.

Masyarakat adat sebenarnya telah menyerahkan surat gugatan terkait penguasaan tanah ulayat tersebut. Meskipun hanya kepada Camat Labuan Bajo, sikap tersebut sudah jelas. Warga menuntut ganti rugi atas lahannya yang kini sudah digunakan untuk perluasan bandara.

Pertemuan antara Pemkab Manggarai Barat dan perwakilan warga sebenarnya sudah digelar. Namun, pemkab tak pernah menyinggung soal hak ulayat masyarakat tersebut. Pemkab hanya meminta dukungan agar Bandara Komodo itu dapat segera dibangun dan diselesaikan sesuai jadwal.

Kini, penggusuran dilakukan mulai dari Puncak Bukit Binongko sampai ke Tanah Cenang, Desa Waekelambu, sepanjang 7 kilometer. Terpaksa, sebanyak 59 keluarga, yang menempati areal sejak nenek moyangnya, terusir.

”Sebelum bandara ini ada, bahkan sebelum pemekaran Manggarai Barat, kami sudah di sini. Kami ini masyarakat kecil yang tak paham soal sertifikat tanah sehingga tak bisa mengurus sertifikat. Namun, kami jangan diperlakukan sewenang-wenang,” tambahnya.

Sejak pemekaran, lanjut Djabat, Pemkab Manggarai Barat memang sudah mengklaim seluruh areal tersebut sebagai milik pemerintah. ”Mereka langsung membuat sertifikat yang dikeluarkan pada tahun 2007,” ujarnya.

KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA Bandara Komodo di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Langkah itu ditudingnya sebagai kesewenang-wenangan. Sebab, tanpa memberikan kesempatan warga, terutama anak dan cucu warga, di masa datang untuk lahan dan pemukiman.

Syamsul Rizal, pengawas proyek perluasan bandara yang ditemui di lapangan, membenarkan pihaknya tengah memperluas bandara. Lokasi proyeknya dekat dengan landasan parkir pesawat atau apron. Proyek senilai Rp 6,7 miliar itu diharapkan selesai selama 150 hari kerja sejak awal Juli lalu.

Namun, Kepala Bandara Komodo Fuadani mengatakan, proyek perluasan bandara tak bisa diselesaikan pada waktunya. Alasannya, di antaranya, masih adanya persoalan lahan.

Terkait keluhan warga, Sekretaris Daerah Manggarai Barat Rofinus Mbon menepis pemkab sewenang-wenang. Alasannya, pihaknya sudah memiliki sertifikat kepemilikan lahan sejak lama. Meski demikian, pihaknya akan menyamakan persepsi perihal nilai ganti rugi yang diminta warga. Namun, tentunya, tak sebesar tuntutan warga. (KORNELIS KEWA AMA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com