Nukilan surat Alida Petronella van de Loosdrecht-Sizoo itu bertanggal 23 Mei 1914. Hampir 100 tahun lalu. Alida mencoba mendeskripsikan tempat hunian baru mereka di Rantepao, Tana Toraja, setelah selama lima hari ia dan suaminya berjalan kaki—bersama sejumlah ”pengawal” warga lokal—di jalan setapak dari Poso. Mereka berjalan menembus hutan belantara, melewati puluhan bukit dan lereng-lereng gunung, dan tiba di Rantepao pada awal Mei 1914.
”Rantepao benar-benar indah!” tulis Alida pada bagian lain isi surat yang ia kirim kepada Gereformeerde Zendingsbond, lembaga gereja-gereja pengutus mereka di negeri Belanda.
Ungkapan ketakjuban Alida akan keindahan Tana Toraja seperti terus membuncah. Ia seolah ingin menghadirkan lukisan alam yang hening dan eksotik, tetapi masih penuh misteri. ”Pada hari yang sangat cerah kalian bisa melihat pohon-pohon kelapa di sana-sini di puncak-puncak gunung. Di sanalah orang-orang Toraja tinggal, di Gunung Sesean yang tinggi....”
Alida atau biasa dipanggil Ida adalah istri Antonie Aris van de Loosdrecht (1885-1917), misionaris pertama Gereformeerde Zendingsbond ke Tana Toraja. Loosdrecht sendiri akhirnya terbunuh dalam suatu tragedi berdarah di kediaman mereka di Rantepao pada 27 Juli 1917. Enam bulan kemudian, setelah melewati kesepian tanpa dukungan, di awal 1918 Alida bersama tiga anaknya memutuskan pindah dari Rantepao. Ia mendapat pekerjaan baru sebagai pengelola rumah sakit kecil milik Zending di Solo, Jawa Tengah.
Selain urusan misi gereja, bidang pendidikan yang dijadikan pintu masuk sekaligus sarana pencerahan bagi anak-anak Toraja mendapat pengakuan orang-orang Toraja masa kini. Dan, tak kalah penting, Alida dan Anton boleh dibilang adalah ”Walter Spies-nya Bali” bagi Toraja. Melalui ”laporan” rutin kegiatan misi mereka yang selalu menyelipkan informasi tentang alam-lingkungan serta karakter dan budaya manusia yang tinggal di pedalaman Sulawesi Selatan itu, Alida dan Anton telah memperkenalkan Toraja muncul ke panggung dunia.
”Tempat ini benar-benar indah,” tulis Alida lagi sembari melanjutkan, ”jika kalian duduk di kursi panjang (di beranda rumah Alida) ini, di sebelah kiri kalian akan melihat tebing baru yang tinggi, yang dulu digunakan oleh orang-orang (Toraja) untuk mengubur orang-orang yang meninggal, dan di sebelah kanan terbentang pegunungan hijau yang indah....”
Persekutuan sosial
Rantepao dan Makale, dua kota kecil yang jadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan di Tana Toraja masa kini, sepintas seperti berada di dasar mangkok berukuran raksasa. Di sekelilingnya gunung dan bukit hijau, di mana di dasar ”mangkok” besar itu terhampar lembah dan bukit-bukit kecil di sana-sini. Di tengahnya mengalir Sungai Sa’dan yang mulai keruh.
Bentang alam Tana Toraja sedikit mengingatkan kita pada kontur alam Lembah Baliem di Wamena di pedalaman Papua. Jika di Lembah Baliem kita dapat menemukan perkampungan adat dengan rumah-rumah honai-nya tanpa jendela di Distrik Keluru, di Tana Toraja rumah khas beratap mirip perahu dan pada ”badan” rumah dipenuhi ukiran indah dengan arah hadap seragam (timur-barat) ada di mana-mana, di balik bukit; di hamparan tanah datar di antara sawah, kebun, dan pohon bambu; atau di kaki-kaki gunung.
Kelompok rumah suatu klan dalam satu kampung itu disebut tongkonan, rumah nenek moyang, yang pertama-tama berarti persekutuan sosial tempat orang Toraja membangun identitas kelompok geneologisnya. Namun, orang luar kerap salah kaprah. Tongkonan justru direpresentasikan sebagai rumah adat Toraja lalu secara nasional seolah sudah ”diakui” bahwa bangunan beratap mirip perahu tersebut menjadi semacam simbol atau identitas etnik Toraja.
”Di sinilah setiap kelompok sosial merepresentasikan diri lewat berbagai simbol kelompok. Melalui simbol-simbol itu mereka kemudian membangun masyarakat dan relasi sosial yang hierarkis,” kata Stanislaus Sandarupa, ahli antropologi-lingustik dari Universitas Hasanuddin.
Di kampung-kampung tua macam Kete’ Kesu dan Pallawa, rumah berbentuk mirip perahu penuh ukiran indah dengan goresan warna-warna dasar itu dibangun berjejer. Di antara deretan bangunan itu ada satu bangunan yang berfungsi menjadi semacam rumah induk, yang umumnya ditempati oleh salah satu keturunan utama pendiri klan bersangkutan. Di sanalah biasanya aktivitas yang berkaitan suatu klan dibicarakan.