Di depan setiap bangunan rumah tinggal, dipisah jalan kampung, bangunan serupa dalam ukuran lebih kecil dan memiliki dudukan di bawahnya tegak berdiri. ”Bangunan ini berfungsi sebagai lumbung tempat penyimpanan padi. Masyarakat Toraja menyebutnya alang, pasangan tongkonan,” kata Stanislaus, yang selama 25 tahun terakhir banyak mencurahkan waktunya meneliti adat dan budaya Toraja.
Konsepsi
Tongkonan dan alang adalah sepasang bangunan yang tak bisa dipisahkan keberadaannya. Satu sama lain saling melengkapi. Dalam konsepsi kehidupan manusia Toraja, sejatinya tak ada tongkonan tanpa alang. Begitupun sebaliknya.
Artinya, apabila salah satunya tak ada, itu tidak mencerminkan identitas ketorajaan. Keduanya saling berhadapan, tetapi secara bersama-sama menunjuk pada dua dimensi kehidupan, yakni dewa-dewa (arah matahari naik/hulu Sungai Sa’dan) dan leluhur (arah matahari turun/muara Sungai Sa’dan).
”Hubungan keduanya bersifat resiprokal untuk membangun keutuhan dan hubungan interdependensi di antara kedua elemen yang beroposisi. Hubungan keduanya juga bersifat bidimensional, yaitu status akan berubah apabila sudut pandang berubah: tongkonan dapat menjadi alang atau sebaliknya,” kata Stanislaus.
Sangat boleh jadi tak banyak para penikmat perjalanan—sekadar untuk menghindari kata wisatawan—yang mau berusaha untuk memahami konsepsi yang hidup dan diteguhi oleh suatu masyarakat pendukung suatu kebudayaan di lokasi yang ia datangi. Aspek-aspek ritual, misalnya, tak jarang hanya dilihat sambil lalu. Ditempatkan sekadar pertunjukan semata, tanpa berupaya melakukan perjalanan lebih jauh untuk meraba makna yang terkandung di dalamnya.
Tak heran jika tradisi-tradisi yang ada juga dilihat sekadar pelengkap pengalaman dari suatu perjalanan. Tak heran pula apabila hari ini kita tetap menjadi bangsa yang bebal. Kearifan-kearifan yang ada di balik kekayaan tradisi yang melimpah itu tak coba digali untuk dijadikan bahan renungan kehidupan.
Apalagi, di tengah konsep keliru kepariwisataan Indonesia selama ini, yakni terlalu menekankan pada keindahan suatu destinasi alam dan budaya, nilai-nilai lokal ikut bergeser. Krisis identitas pun tak terelakkan.
Dalam kasus kepariwisataan di Tana Toraja, ritual rambu solo’ (upacara kematian), yang sesungguhnya sarat ajaran tentang bagaimana menghadirkan kehidupan yang harmonis di muka bumi, kini sudah menjadi semacam selebrasi kesuksesan yang seolah sengaja dipertontonkan. Unsur-unsur religius di balik ritual rambu solo’ juga terasa sudah mati. Begitupun ritual rambu tuka (upacara kegembiraan), kini juga mulai kehilangan getar kesakralannya…. (Kenedi Nurhan dan Agnes Swetta Pandia)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.