Sementara Didik Mustaryadi lahir di Malang, Jawa Timur. Ia putra keturunan Solo-Malang. Dia sampai ke Sabang ketika ayahnya yang anggota TNI Angkatan Laut berdinas di kota itu.
Menikah tahun 1992, pasangan ini kembali ke Sabang untuk menemani orangtua Didik yang merasa cocok hidup di Sabang. Pulau mungil yang berjarak sekitar 22 kilometer dari Aceh daratan ini dianggap lebih menarik ketimbang tanah kelahiran Didik di Jawa atau pulau besar lain.
”Kalau dibayar berapa pun untuk tinggal di Jawa atau tempat lain, saya tidak mau,” kata Didik berseloroh.
Banyaknya peninggalan bersejarah yang belum jelas betul kisahnya membuat Didik dan Nani tergerak untuk menggali sejarah kota yang lama terpendam. Bagi mereka, pengenalan akan situs bersejarah di Sabang akan membuat warga setempat mencintai benda-benda yang ada di kota mereka. Kecintaan ini akan mencegah hilang dan rusaknya situs atau bangunan bersejarah di Sabang.
Pergulatan dengan sejarah Sabang mendorong Nani mengemas beberapa kisah agar menarik bagi remaja. Salah satunya adalah kisah cinta opsir Belanda dengan nona dari Flores yang masih tertinggal pada sebuah rumah tua di Kota Sabang. Opsir Belanda dan nona Flores menempati rumah itu setelah si opsir Belanda diusir dari permukiman tentara Belanda.
”Saya menyebut rumah tempat tinggal mereka rumah cinta. Biar mudah saja diingat oleh anak-anak remaja,” tutur Nani.
Sejarah Sabang sebagai kota pelabuhan yang pernah ditempati sejumlah bangsa dan banyak suku membuat Pulau Weh menjadi miniatur Indonesia dengan warga dari berbagai etnis dan latar belakang.
Pembauran, menurut Nani, juga terlihat dalam hidangan kenduri pengantin di Sabang. Selain kuah belanga dan gulai merah masakan khas Aceh, ada pula rendang dan gado-gado yang disertakan dalam acara itu. Hal ini, menurut Nani, menyimbolkan keragaman.
”Karena itu, kami biasa hidup damai, tenteram, dan bermasyarakat satu sama lain meski ada beragam etnis dan latar belakang orang yang tinggal di Sabang,” ucap ibu satu anak itu.
Pasangan ini juga prihatin melihat banyaknya anak muda yang putus sekolah karena alasan ekonomi. ”Padahal, mereka tidak bodoh,” kata Nani yang tidak merampungkan pendidikan kesarjanaannya.
Melihat potensi pariwisata yang besar, pada 2009 keduanya mulai melatih para remaja putus sekolah. Para remaja ini dilatih berbagai keterampilan, seperti membuat keripik atau kerajinan dari kerang.
Awalnya, hasil produksi dititipkan ke toko-toko suvenir di kawasan wisata Jalan Perdagangan. Namun, karena pemilik toko menaikkan harga jual produk yang dititipkan, akhirnya penjualan berkurang.
Pengujung 2012, pasangan ini sepakat mengeluarkan Rp 12 juta untuk menyewa toko di Jalan Perdagangan, Sabang, selama setahun. ”Ini langkah nekat. Kami tak punya uang banyak, tapi memaksa membuka toko agar hasil kerajinan anak-anak bisa dijual. Beruntung barang yang dijual banyak dicari wisatawan,” ujar Nani yang kini didukung 10 pemasok barang.
Jejak penggalian sejarah dan pembukaan lapangan usaha yang dirintis pasangan ini membuat mereka menjadi bagian dari catatan sejarah di Sabang kelak. (Agnes Rita Sulistyawaty dan Lusiana Indriasari)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.