Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cenkblonk, Suara Rakyat yang Menggugat

Kompas.com - 23/09/2013, 20:18 WIB

Ganti nama

Nardayana menyisipkan tokoh Cenk dan Blonk dalam lakon-lakonnya mulai tahun 1995 saat kelompok wayangnya masih menggunakan nama Gita Loka. Ia sudah mulai mendalang pada 11 April 1992. Seiring waktu, ketika penonton lebih sering menyebutnya sebagai wayang cenkblonk, ia mengganti nama kelompoknya menjadi Wayang Cenkblonk Belayu. Saat pentas, Senin (2/9/2013) malam di kawasan Teuku Umar, Denpasar, tokoh Cenk-Blonk keluar di saat-saat kisah wayang sedang bersiap perang. Hanoman sedang mengamuk di hutan karena rajanya, Rama dan Laksmana, tiba-tiba menghilang. Cenk menasihati seorang raksasa yang sedang membawa senjata.

”Mau ke mana bawa senjata,” tanya Cenk.

”Berperang!” jawab Raksasa

”Tahu musuhmu?”

”Tidak...”

”Mengapa mau berperang?”

”Perintah.”

”Kalau diperintah mati, mau?” Raksasa gundul itu tercekat.

Itulah antara lain cara Nardayana lewat tokoh Cenk-Blonk menyampaikan pesan moral kepada penontonnya. Meski perintah itu datang dari penguasa, rakyat juga tetap harus kritis.

Zaman sudah berubah, ada televisi atau media-media lain yang lebih menarik manusia sekarang. Bagaimana Anda menempatkan wayang?

Kebetulan di Bali wayang hidup karena didukung yadnya (ritual agama). Kita sudah diberi lahan oleh leluhur, di mana agama bergandeng dengan budaya. Sekarang tinggal kejelian kita bagaimana agar wayang bisa jadi tontonan dan tuntunan. Hal terberatnya bagaimana membuat wayang masih jadi tuntunan bertingkah laku. Artinya, setelah menonton ada sesuatu yang bisa dipetik, dijadikan cermin kehidupan.

Cara Anda mengisi diri agar tak berjarak dengan masyarakat sekarang?

Saya bergaul. Bahkan mulai kuliah lagi pada umur 35 tahun di ISI Denpasar semester I. Itu gara-gara saya mengeluarkan VCD wayang berjudul Ratna Takeshi. VCD itu laku keras, wayang saya jadi bahasan di kampus. Setelah lulus saya lanjutkan S-2 Filsafat ke IHD (Institut Hindu Dharma) Denpasar. Bahkan sekarang sedang menyusun desertasi untuk doktor di S-3. Semua itu untuk menyerap apa yang terjadi dan kemudian mengatakannya lewat tokoh-tokoh wayang.

Anda masih percaya pada anugerah atau garis keturunan dalang?

Meski mengisi diri dengan pengetahuan di kampus, saya masih percaya kepada kekuatan spiritual, misalnya masih menggelar ritual sebelum pentas. Ada yang disebut garis tangan, ada juga campur tangan. Di Bali, wayang bagian dari ritual. Oleh sebab itu masih banyak yang percaya soal garis tangan, pemberian Ilahi. Tetapi harus ada campur tangan, makanya saya merasa perlu kuliah.

Anda sendiri punya garis keturunan dalang?

Tidak. Tidak ada sama sekali. Cuma saya. Begini. Jika diberi pisau tajam, tetapi dipakai terus dan tidak pernah diasah, lama-lama tumpul juga. Sebaliknya, kalau kita punya pisau tumpul, tetapi terus diasah akan tajam terus. Artinya, bakat boleh besar, tetapi perlu terus diasah. Prinsip sebagai dalang, pentas saja terus, semua akan muncul di perjalanan. Itu yang saya lakukan....

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com