Di antara banyak ragam bubur ayam yang ada di Ibu Kota, salah satunya adalah bubur ayam cirebon. Sekilas, bubur ayam cirebon tak berbeda dengan bubur ayam lainnya. Namun, jika diteliti, bubur ayam cirebon terlihat lebih ramai karena di permukaannya bertumpuk kerupuk, emping, suwiran ayam, bawang goreng, cacahan seledri, dan terkadang dilengkapi potongan cakwe.
Rasanya juga beda. Bubur ayam cirebon biasanya ditambah kuah kaldu. Kuah kaldu yang gurih dan beraroma rempah itu memperkuat rasa gurihnya.
Mencari bubur ayam cirebon bukan perkara sulit di Jakarta. Pedagang bubur ayam cirebon mudah dikenali karena mereka sengaja memasang penanda berupa imbuhan ”Cirebon” pada kata bubur ayam.
Cara mengenalkan usaha kuliner dengan menyebut daerah asal seperti bubur ayam cirebon itu lazim dilakukan pedagang makanan lain, misalnya gudeg yogya, soto betawi, sate madura, atau lalapan lamongan.
Tengoklah bubur ayam cirebon yang mangkal di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Bubur putih yang sudah disirami kuah kaldu itu kemudian ditaburi bawang goreng, suwiran ayam, emping dan kerupuk, tanpa potongan cakwe. ”Menurut saya sudah pas. Rasa gurih dan buburnya enak, harganya juga terjangkau,” kata Hartono, pembeli bubur ayam di rumah makan nasi goreng dan bubur ayam cirebon Rawamangun.
Sejak 1970
Bubur ayam cirebon diperkirakan sudah lebih lama memperkaya ragam kuliner daerah yang tersedia di Jakarta. Limi (43), penjual bubur ayam cirebon asal Plered, Kabupaten Cirebon, menyatakan, kakeknya sudah berjualan bubur ayam di Jakarta sejak awal tahun 1970-an.
”Dulunya penjual bubur ayam itu memakai pikulan, bukan gerobak,” kata Limi, yang sehari-harinya berjualan di dekat halte busway Dukuh Atas 2, sekitar gedung Landmark, Jakarta Pusat.
Limi merintis usaha bubur ayam di Jakarta sejak 1987. Karena berjualan di dekat gedung Landmark, bubur ayam cirebon milik Limi lebih terkenal dengan sebutan bubur ayam Landmark.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.