Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/09/2013, 10:50 WIB

Bertahun-tahun makam-makam lama di Barus tampak bisu karena jarang orang yang peduli. Orang-orang dari luar negeri malah peduli dengan keberadaan makam itu hingga makam-makam itu diteliti dan makam-makam itu ”hidup”.

Ketimpangan

Tsunami tahun 2004 telah meluluhlantakkan sebagian besar kawasan pantai barat Aceh. Pemulihan kawasan membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar. Bantuan dari luar negeri pada akhirnya ikut membantu pembangunan infrastruktur.

Provinsi Aceh seperti bergincu. Kota yang porak poranda kini tertata rapi. Jalan-jalan di sepanjang pantai barat dibangun lebar dengan aspal yang mulus.

Namun, kenikmatan berkendara segera berakhir setelah melewati perbatasan Provinsi Aceh. Kenyamanan segera berganti dengan perjuangan menghindari lubang-lubang besar di jalan.

Tantangan bertambah dengan kondisi aspal jalan yang terkelupas dan bergelombang. Kerusakan itu sangat parah di beberapa titik. Sebut saja ruas antara tanjakan Sedayu, Kabupaten Tanggamus, sampai Pemerihan dan Krui, Lampung Barat. Begitu pula jalan dari Kota Bengkulu menuju Mukomuko hingga Tapan, Sumatera Barat.

Di Air Punggul, sebelum Mukomuko, jalanan mirip kubangan kerbau. Lubang-lubang selebar 5 meter lebih yang dipenuhi lumpur menganga di tengah jalan. Melewati jalan rusak ini, truk- truk kerap terperosok lubang, mogok, atau malah terjungkal ke jurang.

Meredupnya Sumatera sebagai pusat peradaban pada masa lalu itu antara lain disebabkan adanya perubahan moda transportasi laut ke darat, terutama dengan pembangunan jalan oleh Belanda. Kondisi ini mendorong masyarakat beralih dari perahu atau kapal ke mobil atau kereta api. Setelah kemerdekaan, kota-kota tua itu tidak diberi peran sebagai pusat pemerintahan. Sementara para pengambil kebijakan tak punya kesadaran merawat kota-kota bersejarah itu.

Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di Batam dan Medan. Dominasi pembangunan pantai timur ini bisa dilihat dari pengiriman hasil bumi dari pedalaman pantai barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk kemudian dibawa dengan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan.

Adapun untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai barat Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih baru, seperti Singkil di utara dan Sibolga di selatan. Kehebatan Barus sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan.

Masalah lain yang hingga kini jelas-jelas dirasakan masyarakat adalah timpangnya pembangunan. Perhatian pemerintah yang kurang membuat wilayah ini jauh tertinggal ketimbang kawasan tengah atau di pantai timur Sumatera, seperti Palembang, Pekanbaru, dan Medan. Padahal, kawasan barat juga berpotensi, mulai dari perkebunan, perikanan, wisata, dan seni budaya.

Bertumbuh

Sebuah kota memang bukan merupakan hasil cipta satu generasi. Sebuah kota tumbuh dari satu generasi ke generasi lainnya. Pada dasarnya bentuk kota yang ada sekarang merupakan proses interaksi antargenerasi. Bentuk kota yang ada sekarang merupakan lapisan-lapisan (layers) dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang telah mengalami perkembangan dan saling bertumpukan.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Kendaraan melintas di jalur lintas barat Sumatera di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat rusak parah akibat tanah longsor dan abrasi, Rabu (15/2/2012). Potensi gempa berkekuatan besar berikut tsunami mengancam ribuan penduduk yang tinggal di kawasan merah yang berada di pesisir Sumatera Barat.
Jadi, bentuk kota sesungguhnya merupakan kolase-kolase sejarah. Yang lebih penting dalam pemekaran sebuah kota adalah bagaimana menciptakan suatu perkembangan yang mampu memberikan kesan yang berkesinambungan bagi warga dan penghuninya.

Jarak 3.325 kilometer harus kami lewati. Cakrawala sudah berwarna jingga ketika kendaraan kami masuk dari kota satu ke kota lainnya. Mesin kendaraan kami pun terus menderu untuk melintasi jalan di perbukitan.

Dari sebuah dataran tinggi wujud Sumatera pun berangsur- angsur meredup bersamaan dengan tenggelamnya sang surya dan kendaraan pun kami pacu berlomba mengejar waktu. (Gatot Widakdo/Hamzirwan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com