Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/09/2013, 11:39 WIB
Di mana pun, warung-warung pinggir jalan (embongan) adalah pintu untuk merasakan suasana makan terbaik berbagai makanan tradisional. Namun, tak semua orang nyaman keluar masuk pasar ataupun makan di emperan jalan. Mata jeli pebisnis kuliner kini menghadirkan di mal dan hotel.

Di salah satu sudut Surabaya Town Square di Surabaya, d’Kampoeng menghadirkan suasana berbeda dibandingkan berderet resto mewah yang ada di kiri-kanannya. Seluruh perabotannya berupa bangku dan meja kayu dengan warna coklat tua.

Aksen-aksen klasik juga diimbuhkan lewat kain-kain batik, mainan tradisional, kurungan burung, bakul anyaman bambu, bubu ikan ataupun piring porselen tua yang tergantung dan tertempel di seantero pusat jajanan itu.

Kedai-kedai beratap jerami berderet di sepanjang dindingnya, semuanya juga berperabot kayu tua, dengan pencahayaan ”seadanya” dari lampu-lampu tua. Romantisme akan suasana pasar tradisional (kecuali bau pasarnya yang khas) kian lengkap oleh hadirnya sederetan pedagang lain yang ”ngemper” melingkar dengan pikulan, gerobak dorong, juga sepeda tua. Semua menawarkan berjenis-jenis makanan.

Tahu campur, soto madura, soto lamongan, kupang lontong, lontong balap, rujak cingur, sate kelapa, dan banyak lagi. Namun yang paling ”wow” justru menu yang semakin susah dicari, yaitu semanggi surabaya.

Menu ini susah dicari karena penjualnya selalu berkeliling. Ini menu ”sepele”, hanya daun semanggi kukus, taoge, bersirap bumbu kacang dan petis, dan kerupuk polong super besar. Waktu rasa langu semanggi terdedah di lidah, amboi...seperti mengunyah nostalgia.

Mereka yang pernah jongkok di emperan demi menyantap semanggi mungkin tak pernah membayangkan mencecap rasa langunya di bawah sepoian angin AC. Semanggi sudah masuk mal!

Embongan ”nyaman”

D’Kampoeng menghadirkan kembali memori tentang makanan di ”embong”, disantap dalam suasana yang juga klasik, namun berimbuhan kesejukan AC dan kebersihan tempat makan maupun sajian. Sejak awal, d’Kampoeng memang memanggungkan makanan tradisi dengan menyulap pengemasan dan penyajian.

”Cita rasa makanan tradisional kita tak kalah dari cita rasa makanan Barat, hanya kalah dalam penyajian. Mempertahankan cita rasa dalam kemasan yang berbeda menjadi kunci menghadirkan makanan tradisional di mal,” tutur Mitta, Marketing Manager d’Kampoeng.

Untuk memilih sajiannya, Dicky Indra Surya, Operational Manager d’Kampoeng, berkeliling Surabaya dan sekitarnya. Ia memburu warung-warung ”embongan” bercita rasa terbaik, diajak berjualan di d’Kampoeng yang mulai dibuka pada tahun 2010 itu.

”Jadi, semua penjualnya asli penjual makanan dari ’embongan’, kita pilih yang cita rasanya terbaik, dan kita hadirkan di sini. Mereka berjualan tanpa dipungut biaya. Kami mendapat pembagian keuntungan harga jual. Setiap menu dikontrol ketat, mulai dari penyajian dan higienitasnya. Beberapa mitra harus berupaya keras untuk memenuhi kontrol kualitas kami, namun mereka mau karena hasilnya memang menguntungkan,” kata Dicky.

Di hotel

Surabaya Plaza Hotel pun melihat potensi keuntungan menghadirkan ”yang embongan” ke restoran hotelnya. Bedanya, hotel itu menghadirkan embongan Surabaya justru dengan menciptakan menu baru yang diklaim ”sangat Surabaya”. Namanya, mohon maaf, ”nasi goreng jancuk”.

”Menunya baru, tetapi karakter menunya khas Surabaya. Cita rasa dasarnya ya nasi goreng kampung Surabaya, namun diracik berbeda,” kata Yusak Anshori sambil menyuguhkan nasi goreng jancuknya yang tersaji ”berantakan”, sewajan penuh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com