Konon, ini tipikal orang pesisir Selat Madura di Jawa Timur. Kalau diberi tahu sesuatu ”berbahaya”, apalagi dilarang, malah kian rajin melakukannya. Termasuk dalam urusan menyantap lezatnya lontong kupang, hidangan lontong dan kerang mungil (Musculita senhausia), kerang dengan cangkang seukuran 1 milimeter x 1 milimeter, yang rawan membuat pencernaan bermasalah.
”Kalau perut tak tahan, memang bisa repot, tapi enak banget, lho. Setelah makan kupang, minumlah air kelapa muda banyak-banyak, aman kok,” kata Eddi Gatot (41), warga Jemursari, Surabaya, yang siang itu jauh-jauh pergi ke Warung Lontong Kupang Pak Slamet di Jalan Raya Pasar Suko, Sukodono, Sidoarjo.
Ia lahap menyantap kupang merah sajian warung Pak Slamet, jenis kupang bercita rasa terbaik. Bumbu kuah lontong kupang adalah ulekan cabai rawit dan sesiung bawang putih, yang diulek langsung di piring sajian. Ulekan lembutnya lantas diimbuhi petis kupang olahan dapur Pak Slamet.
”Ini rahasia kelezatan kupang, petis kupang,” bisik Asmutiah (46), adik Slamet yang juga peracik utama di warung lontong kupang Pak Slamet.
Petis itu diolah dari sisa air rebusan kupang saat pelepasan cangkang kupang. Pelepasan cangkang kecil kupang itu rumit dan harus benar-benar bersih agar kupang tak terasa berpasir. Proses panjang itu menghasilkan air rebusan kupang bersih, bahan pembuat petis kupang. ”Itu sari pati kupang, seluruh rasa gurih terkonsentrasi di petis itu,” kata Asmutiah.
Bumbu wajib
Di Surabaya dan kota-kota sekitarnya, petis berupa saus kental berwarna coklat tak hanya menjadi penyedap rasa, tetapi bahkan menjadi bahan utama dari sajian. Hidangan seperti lontong balap, tahu campur, memang ”sekadar” menjadikannya bumbu, dengan mengimbuhkan satu-dua sendok petis dalam setiap porsi sajian. Sementara santapan seperti rujak cingur membalur seluruh sayur dan cingur (potongan bibir sapi) sajiannya dengan ulekan kacang dan petis.
Di Madura, terutama di Sumenep, ulekan kacang tanah goreng dan petis selalu jadi penyedap soto dan campor (hidangan daging bersantan pedas khas Sumenep). Hal serupa juga bakal ditemukan jika kita mencari soto atau campor di Situbondo, kota di pesisir utara Jawa yang memiliki kedekatan kultural dengan Sumenep.
Saat bertandang ke rumah Sunarwati (63) di Kelurahan Pandian, Kecamatan Sumenep, Kabupaten Sumenep, kami mendapati petis sebagai bumbu wajib di dapurnya. Masakan kaldunya berupa bubur kacang hijau kental berisi daging sapi yang berasa gurih dan kaya rempah, pun masih diimbuhinya dengan ulekan kacang tanah goreng dan petis.
”Masakan Jawa memakai banyak terasi dan sedikit memakai petis. Kami juga memakai terasi sebagai bumbu, tetapi porsinya sedikit. Kami lebih menyukai petis sebagai bumbu beragam masakan. Hanya masakan ikan berkuah yang tak memakai petis,” kata Sunarwati.
Penulis buku Monggo Dipun Badhog, Dukut Imam Widodo, menyebut petis hadir dalam beragam makanan khas Surabaya. ”Petis bahkan berinteraksi dengan beragam sajian yang berakar pada tradisi kuliner lain, lontong mi misalnya. Petis sejak lama menjadi bagian dari keseharian bersantap orang Surabaya. Di Surabaya, industri petis hadir sejak awal abad ke-19. Tahun 1900, petis buatan Nyonya Siok sudah memasang iklan di koran,” kata Dukut.
Dukut menyebut Selat Madura yang kaya beragam hasil laut membuat kota pesisirnya kaya akan jenis-jenis petis.
”Ada petis ikan, petis udang, petis lorjuk yang diolah dari air sari pati sejenis kerang berbentuk silinder. Semuanya didapat dengan merebus hasil laut yang dijadikan bahan dan air rebusannya diolah menjadi petis. Orang Madura lebih menggemari petis ikan yang berwarna coklat terang, sedangkan orang Surabaya menyukai petis udang yang berwarna kehitaman. Sekarang, banyak orang memadukan kedua petis, dengan cara pengolahan masing-masing,” lanjut Dukut.
Mengawetkan rasa
Antropolog Universitas Negeri Malang, Dr Abdul Latif Bustami, menyatakan, petis lebih kuat hadir sebagai bumbu masakan rumahan di Madura. Hal itu tak lepas dari kondisi alam pulau garam dan kedekatan orang Madura dengan laut. Petis di Madura hadir sebagai bentuk teknologi orang untuk mengawetkan cita rasa dan kelezatan ikan, berkembang selama ratusan tahun.
”Ikan sumber lauk utama bagi masyarakat Madura, baik yang tinggal di pesisir maupun di pedalaman. Jarak pedalaman terjauh dari pantai tak lebih dari 20 kilometer dan ikan selalu mencapai daerah terjauh dari pantai lewat jasa tokang edder atau penjual ikan yang berkeliling. Meski demikian, perolehan ikan tangkapan tidak dapat dipastikan. Ketika banyak, ikan harus diolah menjadi petis agar tak rusak. Ketika tangkapan ikan tak ada, petis menjadi penyedap rasa utama bagi orang Madura. Teknik mengolah petis yang sederhana itulah yang menjadikannya berkembang luas,” tutur Bustami.
”Bumbu steak daging sapi, misalnya, itu merupakan sari pati kaldu daging yang diolah sedemikian rupa menjadi saus untuk membakar daging sapi. Contoh lainnya, saus tiram. Bedanya, petis diolah apa adanya, hanya mengentalkan air rebusan olahan laut atau daging. Saus itu diolah dengan menambahkan beragam ekstrak buah dan rempah yang memperkaya rasa. Hotel dan restoran ala Eropa di Surabaya rajin mengimpornya,” kata Bambang.
Selat Madura melimpahi kita dengan bahan baku petis sehingga kita punya beragam petis yang otentik, murni sari pati daging atau ikan yang diekstrak. Sungguh sayang kalau kepiawaian mengolah petis masyarakat pesisir Selat Madura dibiarkan jalan di tempat. (Aryo Wisanggeni G)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.