Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengejar "Goraiko" di Puncak Fuji

Kompas.com - 30/09/2013, 11:10 WIB
Malam menjelang, membawa angin dingin berembus kencang. Bulan separuh muncul dari balik awan tebal. Udara dingin dan hujan yang bisa tiba-tiba turun tidak meredupkan hasrat ramai pendaki yang bersiap-siap di Pos V Kawaguchi-ko, di lereng Gunung Fuji, Jepang.

Jendela pendakian ke Gunung Fuji, gunung tertinggi di Jepang dengan ketinggian 3.776 meter, yang hanya dibuka sepanjang musim panas pada Juli-Agustus, tinggal sehari lagi. Banyak pendaki yang enggan melewatkannya.

”Sudah hampir tiga tahun di Jepang saya belum pernah naik Fuji. Baiklah, saya ikut,” kata Anzilni Fathia, kawan lama yang tengah menempuh pendidikan doktoral di Jepang, menyambut ajakan saya.

Selama Juli-Agustus, salju yang biasanya menyelimuti puncak Fuji telah menghilang. Cuaca dianggap lebih ramah dan suhu lebih hangat walaupun terkadang turun hingga mendekati titik beku. Setiap tahun, ratusan ribu orang mendaki Fuji selama dua bulan ini. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Jepang, pada musim pendakian tahun 2012 pendaki yang ke Fuji mencapai 319.000 orang. Kalau dirata-ratakan, dalam sehari terdapat 5.316 orang yang mendaki gunung ini selama dua bulan itu.

KOMPAS/AHMAD ARIF Matahari pagi di puncak Gunung Fuji populer disebut ”goraiko” yang hanya muncul beberapa saat sebelum kemudian kembali tertutup kabut.
Pos Kawaguchi-ko, di ketinggian 2.300 meter, termasuk paling populer bagi para pendaki karena bisa diakses dengan bus dari Stasiun Shinjuku di Tokyo dengan tarif sekali jalan 2.600 yen atau sekitar Rp 260.000. Selain itu, di sepanjang rute pendakian Kawaguchi ke puncak yang dikenal sebagai Jalur Yoshida ter- dapat banyak warung yang menyediakan makanan dan minuman, ruang untuk beristirahat, hingga tabung oksigen.

Selain melalui Kawaguchi, sebenarnya terdapat tiga gerbang pendakian lainnya, yaitu Subashiri, Fujinomiya, dan Gotemba. Kami memilih bus yang berangkat pukul 16.50 dari Shinjuku dan tiba di Pos V Kawaguchi pukul 19.50.

Masih cukup waktu. Pendakian dari Pos V Kawaguchi ke Pos X atau puncak Fuji diperkirakan enam sampai delapan jam. Setelah mengisi perut dengan mi udon panas, lalu memenuhi tas dengan air minum dan dua bungkus onigiri (sejenis nasi kepal), kami pun bersiap mengejar matahari pagi di puncak Gunung Fuji.

Hampir pukul 21.00. Para pendaki satu per satu menghilang di jalur pendakian yang gelap. Kami mengikuti arah mereka menghilang. Sekitar 15 menit berjalan, jalur pendakian dari Pos V masih mendatar, bahkan kemudian menurun.

Sembari menunggu pendaki lain, kami mengabadikan pemandangan berupa kerlip lampu permukiman di kaki Fuji, yang menyaru ribuan kunang-kunang.

KOMPAS/AHMAD ARIF Mendaki Gunung Fuji.
Seorang lelaki yang datang dari arah Pos V muncul dari kegelapan. Kami mencegatnya dan bertanya. ”Sepertinya hanya ini,” katanya ramah. ”Saya juga baru sekali naik Fuji.”

Lelaki itu bercakap sambil terus melangkah. ”Setelah umur 50 tahun, akhirnya bisa juga saya ke Fuji. Ini cita-cita saya sebelum mati,” katanya.

Sosoknya terlindungi gelap malam. Saya tak ingin mengganggunya dengan berbagai pertanyaan yang bersifat personal. Kami memilih menikmati percakapan tanpa saling mengenalkan diri. ”Paling tidak, sekali dalam hidup orang Jepang harus naik ke puncak Fuji,” katanya sebelum menghilang dalam gelap.

Gunung istimewa

Bagi orang Jepang, Fuji memang istimewa. Ratusan tahun, gunung tertinggi di negeri ini telah menjadi sumber inspirasi. Banyak puisi, tulisan, hingga lukisan yang terinspirasi dari pesona Fuji. Gunung ini juga menjadi salah satu pusat orientasi spiritual pemeluk Shinto, agama tradisional di Jepang. Sejumlah kuil Shinto didirikan di Gunung Fuji, mengingatkan pada banyaknya candi dan tempat pemujaan yang dibangun di gunung-gunung api di Indonesia.

Fuji sebenarnya gunung api aktif yang terletak di persimpangan tumbukan tiga lempeng tektonik aktif: Lempeng Amurian (Eurasia), Lempeng Okhotsk (Amerika), dan Lempeng Filipina. Saat terakhir meletus pada 1707, abu Fuji jatuh hingga Tokyo yang berjarak sekitar 100 kilometer.

KOMPAS/AHMAD ARIF Jalur pendakian menjelang puncak Gunung Fuji (3.776 m). Lebih kurang 500.000 orang, sepertiganya turis mancanegara, mendaki Fuji setiap bulan Juli-Agustus.
Pada Juni 2013, Gunung Fuji ditetapkan sebagai salah satu dari delapan warisan dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pendakian ke Fuji tahun ini pun tambah ramai. Tak hanya remaja, tetapi orangtua hingga anak-anak pun banyak ditemui di jalur pendakian Fuji.

Berbeda dengan gunung-gunung Indonesia yang jalurnya kebanyakan dibiarkan alami dan kerap menyesatkan, jalur pendakian Fuji dikemas nyaman untuk wisatawan. Beberapa ruas telah dibuat tangga batu dan jalinan tali memagari jurang.

Pendaki yang kelelahan bisa menginap dan makan di penginapan yang banyak ditemui hampir di setiap pemberhentian. Toilet pun tersedia hingga di puncak dengan tarif 200 yen atau Rp 20.000 per orang. Tak hanya itu, di tiap pos, pendaki bisa mendapatkan oleh-oleh khas Fuji, yaitu stempel yang diterakan pada tongkat kayu untuk menandai kita telah sampai ke sana. Tongkat ini bisa dibeli di Pos V seharga 1.200 yen dan untuk sekali stempel 200 yen.

Angin dingin

Jalur pendakian ke Gunung Fuji memang seperti pasar malam saja. Pendaki mengular, beriringan di sepanjang jalur pendakian yang mulai terjal sedari Pos VII. Beberapa kali kami harus sabar mengantre.

Pukul 04.30 pagi. Puncak Fuji kian dekat, tetapi jalanan semakin menanjak dan padat. Angin dingin bertiup kian kencang, menerbangkan debu, bahkan kerikil yang terasa perih saat menyambar wajah.

KOMPAS/AHMAD ARIF Puncak Gunung Fuji (3.776 m), Kamis (29/8/2013) pagi, dipenuhi pendaki.
Beberapa pendaki yang kelelahan memilih beristirahat di lahan datar sekitar gerbang torii—gerbang kayu, biasanya dicat merah yang menghubungkan ke tempat sakral—tak jauh dari puncak. Mereka meringkuk di balik jaket tebal dan saling berimpitan, sambil menunggu matahari terbit.

Pukul 05.00, kabut tebal tiba-tiba datang. Suhu 4 derajat celsius dan angin deras menyerbu. Namun, para pendaki yang telah menanti-nanti di puncak tak beranjak. ”Matahari terbit itu momen luar biasa bagi orang Jepang. Ingat negeri kami sering disebut ’Negeri Matahari Terbit’,” kata Masahide Sasaki, pendaki solo dari Tokyo. ”Menunggu terbitnya matahari di puncak Fuji lebih istimewa lagi.”

Saking istimewanya matahari terbit dari Fuji, orang Jepang memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya, yaitu goraiko.

Akhirnya warna lembayung melukisi langit di ufuk timur. Dan sekitar pukul 05.20, matahari yang dinanti-nanti itu pun nongol. Sinar surya memunculkan deretan danau di kaki Fuji yang semula raib. Permukaan danau memantulkan warna perak. Hanya beberapa detik, matahari kembali menghilang. Kemudian muncul lagi beberapa detik dan kembali hilang. Begitu matahari terlihat nongol, orang-orang pun bersorak gembira.

”Goraiko....goraiko,” seru Sasaki. Dia lalu menawarkan diri untuk memotret saya dengan latar belakang goraiko. Sebagai imbalannya, dia pun minta saya memotretnya dengan latar belakang yang sama. ”Maaf, saya tidak bawa kamera. Bolehkah Anda foto saya lalu dikirim ke Facebook atau ke e-mail saya?” katanya sambil berkali-kali berucap arigatou dan membungkukkan badan.

KOMPAS/AHMAD ARIF Ema (tulisan berisi harapan dan doa) digantungkan di dalam kuil di puncak Gunung Fuji.
Ah, satu jepretan foto pun bisa menjalin persahabatan baru. Fuji memang penuh inspirasi, tetapi semuanya akhirnya tergantung bagaimana cara kita memaknainya. Angin Fuji yang menderu dan memedihkan kulit pun bisa jadi buah tangan berharga, seperti ditulis penyair haiko dari zaman Edo, Matsu Basho (1644-1694); The wind from Mt Fuji//I put it on the fan//Here, the souvenir from Edo... (Ahmad Arif)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com