Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Betawi "Punye Cerite"

Kompas.com - 30/09/2013, 13:35 WIB

Setelah tiga bulan berguru membatik dengan Ernawati, Laela dan keluarganya sepakat mengumpulkan modal untuk memproduksi batik betawi setahun lalu. Sebagai Betawi kelahiran Terogong, mereka memilih mengembangkan motif kenangan masa kecil.

”Ini motif mengkudu. Waktu Jakarta masih banyak kebon, sekitar rumah kami juga kebun semua. Di daerah Terogong ini banyak pohon mengkudu,” kata Laela sambil menunjukkan batik bergambar buah berkhasiat itu. Laela ingin orang-orang yang lama tidak melihat mengkudu kembali ingat. Di lemari kaca Laela juga bertumpuk batik lain bermotif Gedung DPR, patung Pancoran, mobil kuno, dan sepeda onthel.

Laela ingin membangkitkan kenangan indah soal Jakarta. ”Kalau gambarnya Jakarta macet, kan, tidak ada indah-indahnya. Kalau lihat batik cakep begini jadi lain kenangannya, ha-ha-ha. Orang juga jadi kenal Betawi,” ujar Laela, yang juga seorang guru di SMK.

Pejabat di kelurahan dan kecamatan sekitar tempat tinggal Laela pernah memesan batik kepadanya. Laela juga menitipkan batik produksinya yang dinamai Batik Terogong ke pusat perbelanjaan.

Di Gandaria, Jakarta Selatan, Nur Yaom Rachmat (48), memilih corak pohon Gandaria. ”Waktu kecil, di dekat rumah saya banyak pohon gandaria. Sekarang, mah, sudah jadi kompleks townhouse mewah,” ujar Nur, yang nenek buyutnya asli dari Gandaria. Jadilah pohon gandaria tertumpah di batik.

Nur baru membatik setahun. Semula Nur yang membuka kios masakan betawi di kantin kantor itu lebih akrab dengan centong. Sekarang, dia pandai memainkan canting.

Sejak dulu hadir

Batik sebetulnya sempat menjadi bagian sejarah keluarga Nur dan Laela. Ibu Nur Yaom, H Kholifah (92), masih ingat saat remaja membatik guna menambah penghasilan.

”Dulu, pusatnya batik di Palmerah, Kebayoran, Petogogan, dan Senayan,” ujarnya. Dia mengambil kain dari juragan batik yang pada umumnya orang-orang Tionghoa. Kain itu sudah dicap dengan malam. Kholifah tinggal mengisi detail seperti titik-titik (isenan) dan membuat sulur-sulur.

”Kita ambil 15 kain batik dan setelah rapih ngebatik, dianterin lagi ke tempat ngambilnya. Bayarannya cuma segobang atau dua gobang (1 gobang sama dengan 5 sen). Waktu itu, beras yang paling bagus seliter 5 sen. Yang harganya 4,5 sen itu udah patah dua berasnya,” ujarnya.

Pada masa lalu, orang-orang Betawi menjadikan batik sebagai bagian dari busana sehari-hari. Mereka mengenakan kebaya berpadu kain batik dan kerudung. Dahulu, batik betawi banyak bercorak flora.

Keluarga Laela pun tak lepas dari membatik. ”Ibu dan encing-encing saya dulu membatik walau sebatas jadi kuli saja, ambil pekerjaan dari orang,” ujar Laela.

Kini, batik betawi hadir dalam wujud berbeda dan kali ini orang-orang betawi menjadi tuannya. Seperti sudah kodrat, orang-orang Betawi tak henti menyerap jiwa lingkungan. Tugu Monas dan Jalan Layang Semanggi pun bisa dinikmati lewat selembar kain. (Indira Permanasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com