Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/10/2013, 09:17 WIB

Lain Labang, lain Kamal

Sementara Labang riuh oleh para pemburu bebek dari Surabaya, berdirinya Jembatan Suramadu juga menyisakan kisah surutnya kehidupan pelabuhan penyeberangan feri di Kamal, Bangkalan. Sebelum 2009, Kamal selalu berdenyut oleh aktivitas pelabuhan yang sibuk dengan feri penyeberangan dari dan menuju Surabaya. Kini, kota pelabuhan itu nyaris sunyi.

Akhir Agustus lalu, Fathur Rosi (21) santai duduk di jok sepeda motornya, menanti feri merapat. Tak ada antrean calon penumpang, tak ada kemacetan dan deru kendaraan yang tak sabar masuk kapal. Bahkan terminal angkutan umum di samping pelabuhan pun melompong.

Kamal kini hanya dihidupi sedikit orang, seperti Fathur, yang masih menjadikan feri pilihan utama untuk melintasi Selat Madura. Fathur bahkan mau merogoh kantong lebih dalam karena biaya menyeberangi Selat Madura dengan feri lebih mahal ketimbang tarif memasuki Jembatan Suramadu.

”Kalau naik feri, di atas kapal kita beristirahat. Pergi ke Jembatan Suramadu terlalu jauh, selisih jaraknya 25 kilometer,” kata Fathur yang tinggal di Bangkalan, sekitar 10 kilometer dari Pelabuhan Kamal. Kedekatan jarak membuat orang Bangkalan setiap saat menumpang feri.

Namun, warga Sampang, Pamekasan, dan Sumenep hampir pasti tak pernah lagi mendatangi Pelabuhan Kamal. Jembatan Suramadu juga membuat para pelancong kuliner asal Surabaya tak lagi sampai di Kamal.

Roby Kusuma Harta (37), yang tumbuh besar di Surabaya, masih mengingat bagaimana ia dan kerabatnya sesekali menikmati menumpang kapal feri dan bersantap di warung-warung sate di sekeliling Pelabuhan Kamal. Selesai bersantap, mereka langsung pulang ke Surabaya, lagi-lagi dengan menikmati sensasi pemandangan malam pesisir Surabaya dari atas feri.

”Saya bahkan pernah mengantar istri yang hamil muda dan ingin naik feri serta makan sate di Pelabuhan Kamal. Sekarang tak ada lagi cerita seperti itu. Kami sekeluarga lebih biasa melancong ke Madura dengan melintasi Jembatan Suramadu. Santapannya, ya bebek,” ujar Roby.

Bukan hanya Roby yang tak singgah di Kamal, melainkan juga tukang sate yang dahulu mangkal di sana. Kini tinggal dua penjual sate ayam dan sate kambing membuka tendanya di terminal angkutan umum Kamal yang lengang. Mereka adalah Haji Hamzah (60) dan Mariana (37).

Pada masa jayanya, Haji Hamzah, yang mulai berjualan di Kamal pada 1984, tiap malam menjual 300 tusuk sate ayam dan sate kambing plus 5 kilogram nasi. Sekarang, Haji Hamzah yang berjualan pukul 16.00-21.00 hanya mampu menjual sekitar 60 tusuk sate berikut 1 kilogram nasi.

Mariana pun kian kekurangan pembeli. ”Dulu setiap hari memotong lima ayam, jualan cepat tandas. Sekarang, memotong tiga ayam pun tak kunjung habis dibeli. Jumlah pembeli sekarang tak sampai separuh jumlah pembeli sebelum Jembatan Suramadu dibuka,” kata Mariana.

Jika Kamal kian terlupakan, Jembatan Suramadu membuat si bebek di warung-warung Bangkalan kian naik daun.... (Aryo Wisanggeni G dan Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com