Tahun 1990-an, udara Kota Bandung masih dingin. Turis lokal yang berkunjung tiap pagi menggigil kedinginan. Bahkan, mahasiswa asal daerah lain kadang kala harus memilih tak mandi jika harus kuliah pada pagi hari. Alasannya, bukan karena mengejar waktu, melainkan karena dinginnya air.
Sampai dengan akhir 1990-an, jalanan Kota Bandung juga masih menyenangkan. Tak ada macet sama sekali. Perjalanan dari kawasan Simpang Dago—persimpangan Jalan Dago dengan Jalan Dipatiukur dan Jalan Siliwangi—menuju Jalan Merdeka, memuaskan rasa. Di sepanjang kiri dan kanan jalan, rumah- rumah lama—beratap tinggi, berdinding tebal, berhalaman luas—yang terawat baik juga sungguh menyejukkan hati. Apalagi, pohon-pohon besarnya berjajar di tepi jalan.
Kini jika kita melintas jalan yang sama, suasananya sangat jauh berbeda. Sebagian rumah- rumah lama beralih rupa menjadi toko pakaian (factory outlet/FO), rumah makan, pusat oleh-oleh, dan mal. Lalu lintasnya juga macet sehingga membuat kendaraan berjalan merayap. Terlebih lagi jika di akhir pekan.
Dari sisi daya dukung, Bandung sebenarnya bisa memenuhi berapa pun jumlah penduduknya. Alasannya, rekayasa selalu bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan Bandung. Artinya, kondisi layak yang ada di Bandung tidak alami, tetapi hasil pendekatan rekayasa.
Namun, segala sesuatu yang tidak alami biasanya berhadapan dengan konsekuensi tertentu. Di Bandung, rekayasa itu berhadapan dengan air tanah yang semakin terbatas. Bagi orang yang memiliki cukup dana, muncul kecenderungan untuk membangun di daerah tinggi. Namun, buat mereka yang pas-pasan, terpaksa menuju daerah bawah atau daerah aliran sungai. Padahal, banjir lebih cepat datang akibat daerah aliran sungai sudah semakin rusak dan padat.
Menurut Budi Brahmantyo, pengajar Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, ada satu ukuran sederhana untuk melihat kelayakan suatu lokasi hunian. Ukuran itu adalah kenyamanan. ”Gejala yang ada saat ini, banjir lebih cepat datang, daerah aliran sungai padat penduduk, dan sulit mendapatkan air,” ujar Budi.
Permukaan air tanah terus turun, terutama di daerah dengan kegiatan pengambilan muka air tanah yang besar. Daerah padat penduduk antara lain di Dayeuhkolot, Rancaekek, dan Leuwigajah.
Langkah-langkah penyelesaian harusnya kembali ke kearifan lokal. Inilah yang harus diutamakan. Misalnya, menekan pertumbuhan bangunan vertikal demi menjaga area.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.