Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nostalgia "Paris van Java"

Kompas.com - 01/10/2013, 14:19 WIB
Oleh: Dewi Indriastuti

Tahun 1990-an, udara Kota Bandung masih dingin. Turis lokal yang berkunjung tiap pagi menggigil kedinginan. Bahkan, mahasiswa asal daerah lain kadang kala harus memilih tak mandi jika harus kuliah pada pagi hari. Alasannya, bukan karena mengejar waktu, melainkan karena dinginnya air.

Sampai dengan akhir 1990-an, jalanan Kota Bandung juga masih menyenangkan. Tak ada macet sama sekali. Perjalanan dari kawasan Simpang Dago—persimpangan Jalan Dago dengan Jalan Dipatiukur dan Jalan Siliwangi—menuju Jalan Merdeka, memuaskan rasa. Di sepanjang kiri dan kanan jalan, rumah- rumah lama—beratap tinggi, berdinding tebal, berhalaman luas—yang terawat baik juga sungguh menyejukkan hati. Apalagi, pohon-pohon besarnya berjajar di tepi jalan.

Kini jika kita melintas jalan yang sama, suasananya sangat jauh berbeda. Sebagian rumah- rumah lama beralih rupa menjadi toko pakaian (factory outlet/FO), rumah makan, pusat oleh-oleh, dan mal. Lalu lintasnya juga macet sehingga membuat kendaraan berjalan merayap. Terlebih lagi jika di akhir pekan.

Dari sisi daya dukung, Bandung sebenarnya bisa memenuhi berapa pun jumlah penduduknya. Alasannya, rekayasa selalu bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan Bandung. Artinya, kondisi layak yang ada di Bandung tidak alami, tetapi hasil pendekatan rekayasa.

Namun, segala sesuatu yang tidak alami biasanya berhadapan dengan konsekuensi tertentu. Di Bandung, rekayasa itu berhadapan dengan air tanah yang semakin terbatas. Bagi orang yang memiliki cukup dana, muncul kecenderungan untuk membangun di daerah tinggi. Namun, buat mereka yang pas-pasan, terpaksa menuju daerah bawah atau daerah aliran sungai. Padahal, banjir lebih cepat datang akibat daerah aliran sungai sudah semakin rusak dan padat.

Menurut Budi Brahmantyo, pengajar Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, ada satu ukuran sederhana untuk melihat kelayakan suatu lokasi hunian. Ukuran itu adalah kenyamanan. ”Gejala yang ada saat ini, banjir lebih cepat datang, daerah aliran sungai padat penduduk, dan sulit mendapatkan air,” ujar Budi.

Permukaan air tanah terus turun, terutama di daerah dengan kegiatan pengambilan muka air tanah yang besar. Daerah padat penduduk antara lain di Dayeuhkolot, Rancaekek, dan Leuwigajah.

KOMPAS.com/Krismas Wahyu Utami MEIN Designer butik di Bandung
Bandung yang berada di daerah cekungan, dibatasi pegunungan. Dengan kondisi demikian, polusi yang muncul di wilayah cekungan akan berputar- putar di atasnya. Bandung— yang terdiri dari kota dan kabupaten—kini semakin panas.

Langkah-langkah penyelesaian harusnya kembali ke kearifan lokal. Inilah yang harus diutamakan. Misalnya, menekan pertumbuhan bangunan vertikal demi menjaga area.

Kota penuh daya tarik

Bandung memang kota penuh daya tarik yang membangkitkan inspirasi. Dengan julukan ”Paris van Java”, Bandung berhasil memikat banyak orang untuk berwisata. Akses yang semakin mudah dari Jakarta membuat Kota Bandung dipadati kendaraan dengan pelat nomor ”B” di akhir pekan. Warga Jakarta mencari pelampiasan kesumpekan dengan menikmati Bandung. Kesumpekan pun ikut berpindah.

Menurut Gustaff Hariman Iskandar dari organisasi nonprofit Common Room, jika kondisi ini terus terjadi, Bandung bisa menuai pelupaan sejarah, bencana ekologi, dan pembunuhan budaya. Namun, pangkalnya adalah ekonomi sebagai indikator keberhasilan sebuah kota.

”Jika obsesi memenuhi ekonomi tanpa arah ini terus berlanjut, hasilnya akan jadi kapitalisasi liar. Pertumbuhan ekonomi hanya memberikan keuntungan pemilik modal. Padahal, sebagian pemilik modal berasal dari luar Kota Bandung,” jelasnya.

Gustaff menambahkan, wisatawan mencari suasana di Bandung. Namun, suasana itu justru bisa tak dirasakan. ”Justru, warga frustrasi dengan perubahan Bandung,” lanjutnya.

Rasa frustrasi itu antara lain akibat tak terlibatnya warga dalam proses ekonomi, sehingga tidak merasakan dampak positifnya. Frustrasi juga muncul dari rasa kehilangan Bandung. Rasa frustrasi itu kemudian menimbulkan amarah,” paparnya.

TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN Pembeli memilih kaus berdesain Bandung yang dijual pedagang kaki lima di trotoar kawasan factory outlet Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (25/12/2012). Kaus khas oleh-oleh Bandung yang harganya murah meriah tersebut banyak diburu wisatawan lokal dan mancanegara yang sedang mengisi liburan di Kota Bandung. Setiap musim liburan kaus dengan harga Rp 50 ribu per tiga potong ini dalam sehari bisa terjual sekitar 75 buah.
Padahal, kata Gustaff, Bandung adalah kota kreatif. Data yang dirangkum Common Room pada tahun 2010 menunjukkan, antara 50 persen dan 60 persen dari 2,4 juta penduduk Bandung adalah anak muda. Sebagian besar bergerak di dunia musik.

Kreativitas ini muncul sebagai jalan keluar dari kondisi yang sulit, seperti tekanan sosial dan politik. Menyalurkan amarah hati melalui musik, terutama musik cadas, justru menimbulkan kreativitas. Bahkan, beberapa tahun belakangan, anak-anak muda Bandung mengeksplorasi musik Sunda.

Memang, tak ada kata terlambat. Ibarat berlian, jika digosok dengan tepat, kilauan Bandung bakal muncul, dan memberi inspirasi. (HEI/ELD/OTW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com