Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepotong Siang Menuju Ambunten

Kompas.com - 02/10/2013, 15:54 WIB
TERIK matahari musim kemarau memapar hari pasaran Pasar Rubaru, sebuah pasar kecil yang terletak sekitar 15 kilometer arah barat laut Sumenep, ibu kota Kabupaten Sumenep, yang berada di ujung timur Pulau Madura. Hari pasaran itu menyela perjalanan menuju Ambunten.

Kedai soto ayam di seberang Pasar Rubaru menaut sejak pandangan pertama. Ramainya para pembeli yang riuh bercakap, sosok Afsatun (65) sang penjual soto, juga pucatnya anyaman bambu dinding kedai itu. Keramahan para pembeli soto Afsatun melumerkan kegopohan kami mengejar perjalanan menuju Ambunten.

Wajah Afsatun menebar keramahan meski ia jarang tersenyum, apalagi bercakap. Ia lebih suka mendengarkan obrolan tamu kedainya sambil terus memotong lontong, mengulek bumbu kacang tanah goreng dan petis, meracik sotonya. Selodong kecambah goreng renyah terus berpindah tangan para penyantap soto Afsatun, menyelingi percakapan berbahasa Madura yang bersahutan.

Sambil merasakan gurihnya petis ikan membalur soto racikan Afsatun, kami mendengar Asnan (36) bercerita dirinya menjadi pelanggan Afsatun sejak berumur 6 tahun. Kami seketika merasa beruntung sedang singgah dan bersantap. Afsatun ternyata sudah 50 tahun berjualan soto ayam di Pasar Rubaru. Sotonya yang memang nikmat tiba-tiba terasa semakin berharga.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Penumpang menuju ke penyeberangan feri di Pelabuhan Kalianget, Sumenep, Madura.
Namun, euforia menyantap soto ”setengah abad” langsung menguap begitu tahu harga soto ayam lezat Afsatun. Rp 4.000 per porsi. Budayawan Madura, Edi Setiawan, yang menemani perjalanan kami membandingkan harganya dengan harga secangkir kopi di Jakarta.

”Memang membikin miris. Secangkir kopi yang tak membikin kenyang berharga puluhan ribu. Sementara di Madura menyantap soto ayam lezat hanya menghabiskan uang Rp 4.000. Itu semua karena daya beli warganya yang rendah,” kata Edi.

Ditempa alam

Sepanjang perjalanan lanjutan menuju Ambunten, mobil berkelak-kelok naik-turun bukit-bukit kampur yang kerontang. Sejauh mata memandang, tampak warna coklat pucat dan kuning pudar tumbuhan mengering. Di mana-mana, cadas dan batuan kapur mengintip dari sela-sela tanah coklat tipis yang pecah merekah oleh kemarau yang tiap tahun memanggang Madura selama Mei hingga Oktober.

Sepanjang perjalanan 30 kilometer menuju Ambuten, tak terlihat sungai dengan air melimpah. Gerahnya perjalanan membuat kami sekali lagi berbincang tentang harga soto ayam Afsatun yang Rp 4.000 per porsi. Jalanan yang lengang menjadi bumbu percakapan tentang alam Madura yang memang keras.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Sup daging Rumah Makan 17 Agustus Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Alam yang keras menempa orang Madura menjadi pelaut ulung, yang disebut Edi menghadirkan sisi lain Madura yang sekilas seperti terkucilkan dari ingar-bingar pertumbuhan ekonomi di Jawa. ”Tahun 1960-an kacamata hitam belum menjadi tren di Jawa, tetapi malah menjadi barang umum di Madura. Pembawanya, para nelayan Madura yang berlayar jauh sampai ke Singapura,” kata Edi.

Edi menyebut Madura selalu punya lompatan-lompatan yang dipicu kedekatan masyarakatnya dengan laut. Orang Madura memang punya sejarah panjang dengan lautnya.

Madura selama berabad-abad juga menjadi jalur pelayaran Nusantara, dan sejumlah pelabuhannya di pesisir utara ataupun selatan pulau itu kerap disinggahi pelaut berbagai bangsa. Sejak abad ke-13, kerajaan-kerajaan terus tumbuh di Madura dan berpengaruh dalam sejarah Nusantara. Prasasti Kudadu (1294) yang mengisahkan bagaimana Narariya Madura Adipati Wiraraja, Raja Songenep (sekarang bernama Sumenep), membantu Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Mobil bak terbuka menjadi alat transportasi di Sumenep, Jatim.
”Pada abad ke-18, datang gelombang besar peranakan Tionghoa yang akhirnya bermukim di Madura, termasuk leluhur saya. Sejarah-sejarah itu membentuk masyarakat Madura yang reseptif terhadap segala perubahan. Kami hidup berdampingan tanpa sekat sosial. Kerasnya alam membentuk keliatan mereka bertahan hidup,” kata Edi.

Gigihnya perempuan

Akhirnya, kami tiba hamparan lapangan yang penuh hamparan warna merah pucat adonan rebon bahan terasi. Empat perempuan sibuk meratakan hasil gilingan udang rebon yang masih basah di atas terpal plastik yang menjadi alas untuk mengeringkan adonan udang rebon itu. Di balik rumah-rumah warga, kami menemukan lapangan seukuran separuh lapangan sepak bola, seluruh bidangnya berplester semen.

Beberapa perempuan terbungkuk-bungkuk menata balok-balok terasi mentah yang akan dijemur. Lewat tengah hari itu, lebih dari separuh lapangan berplester semen itu sesak oleh balok-balok terasi. Bau terasi menyengat hidung.

Di sebuah rumah yang belum selesai dibangun, belasan perempuan duduk berteduh, antre untuk menumbuk udang adonan udang rebon bahan terasi. Mereka larut dalam canda, saling bercakap-cakap cepat dalam bahasa Madura, sesekali tertawa. Tak ada lelaki di sana karena para lelaki pergi melaut.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Penjual aksesoris untuk sapi hias di Pasar Rubaru, Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Sahama (40) ada dalam antrean kelompok perempuan yang bersama-sama mengolah terasi demi menambah uang dapur mereka itu. Proses panjang mengolah terasi memang mustahil digarap secara individual. Sahama mengisi waktu luang dengan menjadi perajin terasi sejak umur 18 tahun demi penghasilan Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per hari itu.

Tiap membincangkan urusan dapur, mereka melepas rentetan keluhan, tetapi selalu berujung tawa. Beratnya hidup tak membuat mereka meratap-ratap.

Sahama bercerita tentang terasi terbaik yang sedang ditumbuknya, terasi udang rebon Madura berwarna merah pucat. ”Terasi seperti ini hanya disukai orang di Madura. Pasar di Jawa meminta terasi dengan warna merah menyala yang hanya bisa dibuat dengan imbuhan pewarna. Karena pedagang di Jawa meminta terasi diimbuhi pewarna, ya kami membuatkannya,” ujar Sahama.

Cerita Sahama melintaskan kembali seluruh obrolan dalam perjalanan menuju Ambunten, obrolan tentang kerasnya alam Madura. Hidup warganya jelas tak mudah, tetapi bukan tanpa makna. (Aryo Wisanggeni dan Ingki Rinaldi)

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Aktivitas ekonomi di Pasar Rubaru, Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com