Kedai soto ayam di seberang Pasar Rubaru menaut sejak pandangan pertama. Ramainya para pembeli yang riuh bercakap, sosok Afsatun (65) sang penjual soto, juga pucatnya anyaman bambu dinding kedai itu. Keramahan para pembeli soto Afsatun melumerkan kegopohan kami mengejar perjalanan menuju Ambunten.
Wajah Afsatun menebar keramahan meski ia jarang tersenyum, apalagi bercakap. Ia lebih suka mendengarkan obrolan tamu kedainya sambil terus memotong lontong, mengulek bumbu kacang tanah goreng dan petis, meracik sotonya. Selodong kecambah goreng renyah terus berpindah tangan para penyantap soto Afsatun, menyelingi percakapan berbahasa Madura yang bersahutan.
Sambil merasakan gurihnya petis ikan membalur soto racikan Afsatun, kami mendengar Asnan (36) bercerita dirinya menjadi pelanggan Afsatun sejak berumur 6 tahun. Kami seketika merasa beruntung sedang singgah dan bersantap. Afsatun ternyata sudah 50 tahun berjualan soto ayam di Pasar Rubaru. Sotonya yang memang nikmat tiba-tiba terasa semakin berharga.
”Memang membikin miris. Secangkir kopi yang tak membikin kenyang berharga puluhan ribu. Sementara di Madura menyantap soto ayam lezat hanya menghabiskan uang Rp 4.000. Itu semua karena daya beli warganya yang rendah,” kata Edi.
Ditempa alam
Sepanjang perjalanan lanjutan menuju Ambunten, mobil berkelak-kelok naik-turun bukit-bukit kampur yang kerontang. Sejauh mata memandang, tampak warna coklat pucat dan kuning pudar tumbuhan mengering. Di mana-mana, cadas dan batuan kapur mengintip dari sela-sela tanah coklat tipis yang pecah merekah oleh kemarau yang tiap tahun memanggang Madura selama Mei hingga Oktober.
Sepanjang perjalanan 30 kilometer menuju Ambuten, tak terlihat sungai dengan air melimpah. Gerahnya perjalanan membuat kami sekali lagi berbincang tentang harga soto ayam Afsatun yang Rp 4.000 per porsi. Jalanan yang lengang menjadi bumbu percakapan tentang alam Madura yang memang keras.
Edi menyebut Madura selalu punya lompatan-lompatan yang dipicu kedekatan masyarakatnya dengan laut. Orang Madura memang punya sejarah panjang dengan lautnya.
Madura selama berabad-abad juga menjadi jalur pelayaran Nusantara, dan sejumlah pelabuhannya di pesisir utara ataupun selatan pulau itu kerap disinggahi pelaut berbagai bangsa. Sejak abad ke-13, kerajaan-kerajaan terus tumbuh di Madura dan berpengaruh dalam sejarah Nusantara. Prasasti Kudadu (1294) yang mengisahkan bagaimana Narariya Madura Adipati Wiraraja, Raja Songenep (sekarang bernama Sumenep), membantu Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit.
Gigihnya perempuan
Akhirnya, kami tiba hamparan lapangan yang penuh hamparan warna merah pucat adonan rebon bahan terasi. Empat perempuan sibuk meratakan hasil gilingan udang rebon yang masih basah di atas terpal plastik yang menjadi alas untuk mengeringkan adonan udang rebon itu. Di balik rumah-rumah warga, kami menemukan lapangan seukuran separuh lapangan sepak bola, seluruh bidangnya berplester semen.
Beberapa perempuan terbungkuk-bungkuk menata balok-balok terasi mentah yang akan dijemur. Lewat tengah hari itu, lebih dari separuh lapangan berplester semen itu sesak oleh balok-balok terasi. Bau terasi menyengat hidung.
Di sebuah rumah yang belum selesai dibangun, belasan perempuan duduk berteduh, antre untuk menumbuk udang adonan udang rebon bahan terasi. Mereka larut dalam canda, saling bercakap-cakap cepat dalam bahasa Madura, sesekali tertawa. Tak ada lelaki di sana karena para lelaki pergi melaut.
Tiap membincangkan urusan dapur, mereka melepas rentetan keluhan, tetapi selalu berujung tawa. Beratnya hidup tak membuat mereka meratap-ratap.
Sahama bercerita tentang terasi terbaik yang sedang ditumbuknya, terasi udang rebon Madura berwarna merah pucat. ”Terasi seperti ini hanya disukai orang di Madura. Pasar di Jawa meminta terasi dengan warna merah menyala yang hanya bisa dibuat dengan imbuhan pewarna. Karena pedagang di Jawa meminta terasi diimbuhi pewarna, ya kami membuatkannya,” ujar Sahama.
Cerita Sahama melintaskan kembali seluruh obrolan dalam perjalanan menuju Ambunten, obrolan tentang kerasnya alam Madura. Hidup warganya jelas tak mudah, tetapi bukan tanpa makna. (Aryo Wisanggeni dan Ingki Rinaldi)