Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/10/2013, 07:41 WIB
Di dapur kecil Warung Barokah, aroma daun bawang setengah gosong mengambang dari dua panci yang terpanggang di dua kompor minyak tanah. Uap tipis menyelinap dari sela-sela tutup kedua panci, merayu. Namun, urusan makan harus ditunda gara-gara menunggu ”saus” penyedap sajian pesanan kami.

Satu-dua pukulan di cobek, tangan Yani (36) cepat memainkan ulek-ulek, melumat kacang tanah goreng, petis, garam, dan cabai merah di cobeknya. Warna coklat terang petis ikan khas Madura itu kian pudar berubah menjadi ”saus” memutih oleh minyak kacang tanah, garam, juga imbuhan penyedap rasa pabrikan.

Bau cabai merah yang lumat di cobek Yani sempat tercium samar, tetapi lantas terusir aroma tajam daun bawang yang kian pekat ketika ia membuka tutup panci pertamanya. Kuah bening dan satu-dua potong irisan daging sebesar dadu dituang Yani ke piring berisi beberapa potong lontong. Ulekan dicobek segera dituangkan ke atas sajiannya.

Panci kedua terbuka, wanginya cengkeh terbawa sepoi-sepoi, kuah warna merah dan kilauan minyak bumbu beraneka aroma menggoda itu dituang di piring lainnya. Kali ini, Yani tak menaruh ”saus” ramuannya di sajian itu.

”Ini soto, daging saja kan?” kata Yuni menyodorkan piring sajian pertamanya. Lalu, tangan kirinya menyorongkan sajian kedua yang merah menggoda. ”Ini campor, kuah santannya merah karena cabai merah. Tunggu saja di depan, semua segera saya antar,” katanya tertawa melihat kami mulai ”kalap”.

Teras kecil Warung Barokah yang ada di Benangung, Kabupaten Sumenep, Madura, itu menjadi awal perburuan cita rasa di kota-kota pesisir yang ”mengepung” Selat Madura. Saat sepiring soto itu sampai di teras, ”saus” ulekan Yani mulai lumer dan bercampur dengan kuah bening sotonya.

Suapan pertama, kuah soto bening yang sedikit keruh oleh saus kacang dan petis itu menebarkan gurih yang berbeda. Gurihnya kacang tersamarkan oleh rasa gurih lain yang lebih tajam, asing, tetapi terasa segar. Kecambah goreng menjadi sumber rasa lainnya.

Kuah santan campor yang sedikit kental dan merah itu melumerkan rasa berbeda. Rasa pedasnya dipadu harumnya cengkih dan kayu manis. Irisan daging yang sedikit lebih besar tak kalah empuk. Cita rasa terkuatnya, aroma daun bawang tersangrai, aroma yang kerap kali muncul dalam sajian kuliner Madura.

”Untuk takar rasa orang Sumenep seperti saya, inilah soto dan campor yang tergolong enak,” ujar Hery Junaidy Affandy (35), teman seperjalanan yang membawa kami ke Warung Barokah milik Yani. Hery lantas berkisah tentang bagaimana orang Madura ”tergila-gila” dengan beragam masakan ikan berkuah dan daging berkuah, dengan sajian yang sangat beragam.

Madura, pulau seluas 5.304 kilometer persegi berbentuk memanjang, membentang dari timur ke barat sejauh sekitar 190 kilometer. Dengan bentuk memanjang yang sejajar Pulau Jawa, bagian terlebar pulau itu tak lebih dari 40 kilometer. Di utara, terbentang Laut Jawa hingga ke Pulau Kalimantan. Sementara di selatan terdapat Selat Madura, yang seperti namanya begitu dekat dan menjadi bagian dari kehidupan orang Madura.

Hubb de Jonge menuliskan dalam Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (Jakarta, 1989) kondisi geologis Madura yang merupakan bukit-bukit kapur di Madura landai dan rendah, dengan wilayah tertinggi Gunung Tembuku (471 meter dari permukaan laut). Dengan tanah berkapur yang kebanyakan tak subur, dan curah hujan minim, hampir tiap jengkal Madura hanya bisa ditanami jagung dan singkong sepanjang musim penghujan (umumnya Oktober sampai April), dan nyaris tak bisa ditanami apa pun selama kemarau.

Situasi itu membentuk keberadaan orang Madura sebagai kaum tani yang selalu dekat dengan laut, yang selalu mencukupi kebutuhan pangan orang Madura. Budayawan Madura, KH D Zawawi Imron, menyebutkan kedekatan itu tergambar dari ungkapan abental ombek asapo angen.

”Artinya, orang Madura adalah orang-orang berbantal ombak, berselimutkan angin. Kedekatan itu juga tergambarkan dalam keseharian orang-orang Madura. Hidangan sehari-hari di pedesaan adalah ikan dan hasil laut. Hidangan berbahan daging sapi, soto, misalnya, adalah santapan besar yang hanya disantap pada hari besar keagamaan ataupun hajatan. Nyata hidangan daging sapi pun tak meninggalkan cita rasa ikan, yang masuk melalui petis dan terasi sebagai bumbu utama kuliner Madura,” kata Zawawi.

Alam selalu memengaruhi arah rasa santapan orang-orangnya. Di Madura, arah rasa asin tersaji di mana-mana, dengan rumus bumbu pellapa gene’ sebagai acuan bagi berbagai hidangan ikan di Madura.

Pagi itu, halaman rumah Sunarwati (63) di Kelurahan Pandian, Kecamatan Sumenep, Kabupaten Sumenep, riuh oleh sejumlah perempuan yang tengah memasak hidangan untuk tahlilan mendoakan salah satu kerabat yang berpulang sepekan sebelumnya. Empat kompor ditaruh berpencar di halaman dan teras rumah.

Menjelang tengah hari, Sunarwati memisahkan diri, bersiap memasak hidangan untuk santap siang itu. Dari tangannya, sejumput garam terlepas di cobek yang telah penuh oleh aneka bumbu: kencur, kunyit, lengkuas, ketumbar, dan lada. Ia cepat melumat kencur, kunyit, ketumbar, lada, dan sabar menghaluskan liatnya lengkuas dan jahe.

Begitu ulekan bumbunya lembut, ia cepat menyalakan kompor, memanaskan minyak goreng di wajan. Rajangan daun bawang segar segera menguning di wajan, ditemani daun jeruk purut yang menebar wangi. Seluruh ulekan di cobek berpindah ke wajan, ditambah ulekan cabai dan tomat, spatulanya cepat mengaduk bumbu-bumbu yang semakin menebar aroma.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Sup daging Rumah Makan 17 Agustus Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Sedikit imbuhan air meredakan panasnya minyak goreng bumbu kella celok (sejenis bumbu asam) itu. Ikan kakap merah yang direbus terpisah segera menyusul masuk ke wajan Sunarwati. Dibuangnya buih putih yang menggumpal di sela potongan-potongan kakap merah yang menggoda. Ditutupnya wajan itu, membiarkan bumbu-bumbu lacelok gerang asem meresap.

Di siang yang panas menyengat, aroma asam ikan kakap merah berbumbu kella celok cocok untuk memantik rasa lapar. Apalagi kuahnya yang pedas berpadu rasa accen atau asin yang memang selalu hadir kuat dalam cita rasa kuliner Madura. Accen yang pas, seddhe’ (sedap) kata orang Madura, hidangan yang menyegarkan siang yang gerah itu.

”Ikan kuah asam berbumbu kella celok itu masakan rumahan. Karena ikan santapan sehari-hari, ada beragam kelompok bumbu untuk beragam cara memasak ikan. Kella celok yang asam, bumbu rujak yang memakai asam dan kemiri, juga kella patheh atau bumbu memasak ikan dengan kuah santan. Semua dasarnya palappa gena’, bumbu dasar yang ditambah dan dikurang di setiap jenis masakan ikan berkuah,” kata Sunarwati.

Ia tertawa ketika ditanyai apa jadinya kalau tak ada ikan untuk disantap. ”Orang Madura tak pernah susah memikirkan apa yang harus dimakan. Kalau ikan tak ada, pastilah masih ada buje cabbe,” ujar Sunarwati tersenyum.

Buje cabbe? ”Buje cabbe itu garam dan cabai, barang yang selalu ada di mana-mana di Madura. Tinggal diulek untuk menemani bersantap nasi, pasti enak,” katanya tertawa. Kebahagiaan acap kali memang sederhana, begitu pula kenikmatan bersantap. (Aryo Wisanggeni Genthong dan Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com