Soal konsep hijau, kami langsung menemukannya di rumah dinas bupati atau pendopo. Sebagian besar ruangan menggunakan penerangan dan penyejuk udara alami. Semua kamar tidur untuk tamu beratapkan hamparan rumput. Enam kamar di dalam bangunan dibuat menyerupai gundukan besar. Tak heran bangunan itu mirip bungker.
Di atas gundukan itu, ada lapisan tanah yang ditanami rumput lebat. Di beberapa titik di atap dibuat atap kaca sehingga sinar matahari tembus ke dalam ruang-ruang dalam bangunan. Hawa terasa sejuk karena di siang hari tak diperlukan lampu sama sekali.
Di seberang bangunan juga didirikan ”bungker” lain untuk enam ruang kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi. Sementara itu, pohon-pohon nangka, mangga, mahoni, melinjo, jambu, dan asem yang rindang menaungi halaman yang berumput. Saat menerima kami di pendopo, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, untuk membangun Banyuwangi, mereka tidak mau meniru Jakarta, Bandung, atau Surabaya.
Ruang terbuka hijau juga diperbanyak. Warga dibuat betah berlama-lama di sana. Wi-fi atau internet nirkabel dipasang di sekolah, gereja, pura, bahkan taman makam pahlawan. Anas ingin masyarakat berkumpul di tempat-tempat itu ketimbang melakukan aktivitas tidak jelas. ”Meski Banyuwangi berada di ujung Jawa, tetapi sudah terkoneksi dengan dunia global,” katanya.
Bahkan, Taman Makam Pahlawan (TMP) Wisma Raga Satria disulap menjadi tempat nongkrong. Kompleks makam itu diperindah. Tempat yang dulu kumuh, bau pesing, dan banyak sampah, kini sangat nyaman. Bagian depan TMP dijadikan taman hijau, lengkap dengan wi-fi. Sekitar 30 warga terlihat asyik berkumpul, mengobrol, atau bermain komputer jinjing. Di seluruh Banyuwangi terdapat 1.200 titik wi-fi dan akan terus bertambah sampai memenuhi target, yakni 10.000 titik wi-fi.
Pengembangan bandara juga menerapkan konsep hijau. Hanya bangunan dengan fungsi pokok yang berdiri dengan pendingin udara minimal. Menurut Anas, dengan konsep hijau, dia hanya butuh dana Rp 30 miliar. Jauh lebih hemat di banding pembangunan bandara di daerah lain yang dengan ukuran sama menelan biaya lebih dari Rp 150 miliar.
Di pusat kota tak banyak pusat perbelanjaan. Di Kota bekas Kerajaan Blambangan ini hanya ada satu supermarket dengan halaman parkir untuk menampung 50 mobil. Praktis tak ada kendaraan pengunjung yang meluber ke jalan seperti jamak terjadi di daerah lain.
Antisipasi kemacetan ini juga dilakukan dengan menggalakkan pembangunan jalan. Tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membangun 250 kilometer (km) jalan, dan tahun ini 300 km. Pembangunan ini terutama pada jalan-jalan desa untuk mempermudah akses warga di pedalaman ke pusat kota.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.