Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Liat di Tanah yang Tak Ramah

Kompas.com - 05/10/2013, 08:44 WIB
HASIL panen padi tahun 1806, 4.938 koyang (2011,3 liter), belum cukup menyediakan pangan bagi istana dan para pegawainya. Rakyat biasa makan jagung dan ubi yang dibudidayakan di bukit-bukit dan di antara batu-batu karang. Di awal abad ini (abad ke-19), ketika penduduk lokal lebih banyak memakan beras, setengah juta pikul beras diimpor setiap tahun. Jagung juga diimpor dalam skala besar. Dengan kereta api saja, pada awal abad ini (abad ke-19) sudah diimpor 800 ton jagung setiap tahun (Hubb de Jonge, 1989).

Sebagaimana dibeberkan Hubb de Jonge di buku Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, alam Madura tak ramah. Alam keras yang disebut Kuntowijoyo membentuk ”ekologi tegal” yang menuntun sejarah Madura juga membentuk manusianya yang liat memanfaatkan setiap jengkal apa yang dipunyai.

Madura secara geologis merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur yang mengapit Lembah Solo di Jawa. Bukit-bukit kapur di Madura landai dan rendah. Gunung Tembuku setinggi 471 meter dari permukaan laut merupakan dataran tertinggi di pulau itu.

Karena kekurangan tanah vulkanis, pertanian padi hanya dapat tumbuh di sejumlah ”kantong” aluvial atau tanah endapan sungai. Empat ”kantong” aluvial Madura menjadi magnet, memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi dan produksi pertanian yang memberi daya dukung bagi berkembangnya permukiman kota-kota di Madura: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Sisanya, relatif hanya bisa ditanami jagung dan singkong sepanjang musim penghujan, pada Oktober sampai April.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Rujak Cingur.
Kerasnya kehidupan itu ditambah oleh padatnya penduduk Madura. Hasil sensus yang dilakukan Raffles pada 1815, Madura memiliki 219.000 penduduk (Hubb de Jonge, 1989). Kepadatan penduduk Madura mencapai 41 per kilometer persegi. Sementara kepadatan penduduk di Jawa baru mencapai 34 orang per kilometer persegi.

Survei penduduk sejak tahun 1867 sampai 1961 pun menunjukkan kepadatan penduduk Madura selalu melebihi kepadatan penduduk di Jawa. Padahal, sudah sejak awal abad ke-19 Pulau Madura mempunyai lebih banyak penduduk ketimbang kemampuannya menghasilkan bahan pangan.

Namun, manusia Madura tak pernah patah oleh kerasnya alam. Apa yang ditulis De Jonge, ”Rakyat makan jagung dan ubi yang dibudidayakan di bukit- bukit dan di antara batu-batu karang...” itu masih tersaji di sebuah warung kecil di Jalan Teuku Umar, Sumenep. Nasi jagung dengan sayur kelor.

Ayu (20) riang diserbu ”penggemar” nasi jagung Warung Bu Didik, Kamis (22/8) itu. ”Makan nasi pecel saja ya? Atau nasi ikan?” kata putri Bu Didik itu menawarkan menu lain. ”Kenapa mau makan nasi jagung? Ingin tahu rasanya ya?” kata Ayu tertawa-tawa melihat kami ngotot mau menyantap nasi jagung.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Soto daging Madura dengan bumbu kacang.
Nasi jagung di Warung Bu Didik itu cukup lezat, cantik oleh kuningnya warna jagung yang ditumbuk kasar dan ditanak bersama-sama. Rasa manis nasi tertawarkan oleh jagung. Sayur kelornya berasa asin, tetapi tetap terasakan segar dan gurih oleh parutan kelapa yang larut di kuahnya. ”Sayur kelor itu sayur rumahan di Madura, jenis sayur lain sangat jarang dimasak,” kata Hery Junaidy Affandy, teman seperjalanan kami.

Satu persamaan Hery dan Ayu, kedua orang muda yang sama-sama asli Sumenep itu, tak lagi gemar menyantap nasi jagung. Itulah ternyata kenapa Ayu terheran-heran ”diserbu penggemar” nasi jagung.

”Kalau saya, ya hanya memakan nasi putih. Ini yang memasak nenek saya. Saya tak tahu cara memasak nasi jagung. Saya membantu memasak saja,” tutur Ayu tertawa-tawa.

Pelanggan nasi jagung Ayu kebanyakan memang bukan orang muda. Subahri (60) misalnya, penarik becak yang Kamis pagi itu sarapan di Warung Ibu Didik. Buat Subahri, alasan terpenting sarapan nasi jagung adalah rasa kenyang yang bertahan lebih lama ketimbang sarapan nasi putih.

”Kalau sarapan nasi jagung, rasa lapar baru datang sekitar pukul 16.00,” kata Subahri. Dengan pendapatan harian yang berkisar Rp 20.000 hingga Rp 40.000, Subahri mesti berhitung ketat untuk pengeluaran makan. Lebih dari sekadar ditanam ”di bukit-bukit dan di antara batu-batu karang”, nasi jagung adalah napas dari keliatan orang Madura menjalani tandusnya pulau mereka.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Semanggi Suroboyo
D Zawawi Imron menyebutkan, nasi jagung semakin jarang dimakan sejak 1965. ”Orang Madura semakin mampu membeli beras, dan nasi jagung semakin ditinggalkan,” kata Zawawi.

Antropolog Universitas Negeri Malang, DR Abdul Latif Bustami, menyebutkan, meski alamnya tak ramah untuk tanaman pangan, Madura sejak lama menghasilkan beragam komoditas lain. Pada tahun 1800-an, Bangkalan dan Sampang (arsip Belanda menyatukannya dalam wilayah administratif Madura Barat) menghasilkan buah-buahan, kayu bakar, kapur, ikan laut, dan beragam ukiran yang diperdagangkan dengan Surabaya dan Gresik. (FX Sutjipto dalam disertasi Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura–Abad XVIII sampai Medio Abad XIX).

Pada periode yang sama, Sumenep menghasilkan panenan jagung, kacang, kedelai, dan tembakau yang berlimpah hingga bisa diperdagangkan ke luar Madura. Sumenep juga dikenal sebagai penghasil beragam jenis minyak nabati, kulit lembu, biji asam, dan kain tenun Madura, dan ”mengekspor” ribuan ternak sapi setiap bulannya.

Komoditas yang paling terkenal tentu saja garam, yang membuat Madura kerap disebut Pulau Garam. Komoditas-komoditas itulah yang menopang perekonomian Madura untuk menyangga pembelian sejumlah bahan pangan dengan Jawa, utamanya beras. Komoditas-komoditas itu dijual ke luar Madura, memanfaatkan posisi geografis Madura yang menjadikannya bagian dari rute pelayaran perdagangan di masa silam.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Olahan pepes lorjuk
”Bandar seperti Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep menjadi pelabuhan terpenting untuk jalur-jalur perdagangan itu. Arosbaya di pesisir utara juga menjadikan Madura selalu ramai dikunjungi para pelaut berbagai bangsa,” kata Bustami. (Aryo Wisanggeni Genthong dan Ingki Rinaldi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com