Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Subak di Jatiluwih Menjadi Daya Tarik Wisata

Kompas.com - 05/10/2013, 09:04 WIB
Di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali, subak bukan sekadar sistem irigasi yang menghidupkan sawah padi. Akan tetapi, subak yang telah dinobatkan sebagai warisan budaya dunia itu juga menjadi daya tarik wisata. Jatiluwih kini menjadi salah satu tujuan wisata yang dicari turis asing ataupun lokal setiap kali menjejakkan kaki di Bali.

Berkeliling Jatiluwih, geliat pariwisata mulai terasa di desa itu. Beberapa kafe dan penginapan siap menyambut turis, sebagian lagi masih dalam taraf pembangunan.

I Nyoman Sutama, warga Jatiluwih sekaligus petani, memanfaatkan lonjakan kunjungan wisata ini dengan membuat warung makan sederhana. Yang berbeda adalah menu yang ditawarkan Sutama. Makanan dan minuman di sini rata-rata menggunakan beras merah hasil panen dari sawahnya sendiri.

”Ini beras merah organik. Bisa jadi nasi goreng yang enak. Ada juga yang disangrai dan bisa jadi teh beras merah. Jelas baik bagi kesehatan,” katanya.

Guru Besar Universitas Udayana Prof Wayan Windia menyambut baik majunya industri pariwisata di Jatiluwih. Apalagi, warga setempat berperan aktif dalam pengelolaan wisata di desa tersebut.

”Kelompok tani beras merah organik Jatiluwih bekerja sama dengan Fakultas Teknik Warmadewa mencoba mengembangkan ekowisata seputar subak. Prakarsa bertahan yang tumbuh dari petani macam inilah yang melegakan saya,” ujar Wayan.

Namun, ada yang perlu menjadi perhatian. Menurut Wayan, masyarakat Bali kini dihadapkan pada kehidupan modern. Teknik pemasaran hasil produksi padi telah masuk ke desa, sumber air baru seperti pompa dan bendungan juga sudah masuk desa. Demikian juga dengan pariwisata yang sudah hadir di desa, di kota, di pantai, di gunung, dan di mana-mana. Lahan pertanian kian tergusur.

Bagaimana anggota subak? Mereka perlu ditingkatkan kecerdasannya, kegiatannya, dan partisipasinya.

”Harapan kita, mereka dapat ikut menikmati hasil pembangunan ini. Mereka adalah manusia Bali dan mereka berhak untuk itu,” kata Wayan.

I Nengah Warta, mantan Kepala Desa Jatiluwih, mengatakan, meskipun telah menjadi warisan dunia dan harus dijaga kelestariannya, subak tetap terancam. Di Jatiluwih, menurut Warta, masyarakat masih amat memegang adat istiadat dan keyakinan mereka. Selain itu, faktor lingkungan, termasuk sumber air masih, cukup terlindungi.

”Akan tetapi, subak-subak di kawasan lain di Bali, bahkan sudah terjadi di dekat-dekat sini, sumber airnya terancam. Ini karena ada vila, hotel, obyek wisata atau apa pun yang menyedot air tanah dan mengancam sumber air subak,” katanya.

Luasan subak cenderung berkurang karena lahan pertanian beralih fungsi atas nama pariwisata atau keterpaksaan karena petani tidak bisa bertahan atas aturan pajak sawah tepi jalan Rp 7 juta per tahun. Sementara penghasilan per panen hanya Rp 700.000. Perubahan kebijakan pajak yang memihak petani mesti diupayakan.

Harga beras hasil pertanian sistem subak juga tak terjamin. ”Saat ini, harga beras merah cendana dari petani sekitar Rp 15.000 per kilogram. Di Denpasar, bisa dijual dua kali lipatnya. Terkadang dengan alasan macam-macam, harga beras dari petani semakin murah saja. Ini yang membuat petani sering tak merasa untung,” kata Sutama.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO Sawah berundak-undak di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, Rabu (10/4/2013).
Kepentingan politik turut memengaruhi perlindungan terhadap subak. Terkadang, jika desa yang melaksanakan sistem persawahan dengan irigasi subak tetapi berseberangan pandangan politiknya dengan pemimpin daerah setempat, bisa-bisa banyak kebijakan yang membuat subak terancam. Di sisi lain, otonomi daerah yang berujung pada pemekaran wilayah dari tingkat desa sampai kota/kabupaten ternyata justru sering memecah belah wilayah subak.

”Bayangkan saja jika sumber air berada di kecamatan lain, sementara sawah terbesar bukan di kecamatan atau desa tetangganya. Dulu ketika belum ada pemekaran, bisa diatur bersama. Sekarang, ada saja kendalanya,” tambah Warta.

Padahal, beras adalah sumber makanan pokok yang selalu dibutuhkan. Sementara pertanian masih menjadi mata pencaharian yang menjadi tempat bergantung sebagian besar masyarakat Bali.

Apakah masyarakat pendukung subak, seperti di Jatiluwih, harus terus dibiarkan sendiri berjuang? Mungkin hanya pemerintah setempat dan masyarakat Bali yang bisa menjawabnya. (NEL/OTW/HAM)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com