Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/10/2013, 08:07 WIB
Oleh: Mukhamad Kurniawan dan Aris Prasetyo  

MANUSIA dan komodo (Varanus komodoensis) sejatinya tidak bisa bersatu. Penyerangan komodo terhadap manusia berulang kali terjadi. Namun, warga Pulau Komodo dan Pulau Rinca berdampingan dengan komodo sejak puluhan tahun lalu.

Bagi para ranger (polisi hutan) di Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), pengalaman digigit komodo, bahkan dilempari bom oleh kawanan pencuri satwa, pernah dihadapi. Ranger tak hanya menjaga keamanan kawasan taman nasional. Mereka sekaligus menjadi semacam pawang komodo dan pemandu bagi wisatawan.

Dengan tongkat kayu walikukun, Arifin (42) menyibak semak. Tangannya menyingkirkan ranting dan dahan yang menghalang, matanya mengawasi sekeliling. Beberapa wisatawan membuntutinya, menyusuri jalur setapak di Pulau Komodo, beberapa waktu lalu.

Tajudin (32), rekan Arifin, membantu di belakang barisan. Tugas keduanya sama, yakni memandu sekaligus menjaga wisatawan dari kemungkinan serangan komodo. ”Kasus penyerangan komodo di Pulau Komodo tak sesering di Pulau Rinca, tetapi pengunjung harus tetap waspada,” kata Arifin.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Wisatawan asing melintas di Jalan Soekarno-Hatta, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa (28/5/2013). Kota Labuan Bajo semakin berkembang dan telah menjadi destinasi wisata utama di Pulau Flores. Wisata Komodo telah menggerakkan sektor riil di Labuan Bajo.
Kasus yang kerap diceritakan pemandu adalah meninggalnya Mansur (8) pada tahun 2003. Bocah itu diserang komodo dewasa saat buang air besar di bawah pohon srikaya, di sekitar tempat tinggalnya di Pulau Komodo.

Interaksi manusia dan komodo menjadi salah satu bahan cerita Arifin dan Tajudin kepada turis. Keduanya menceritakan bagaimana komodo ”turun gunung” ke permukiman untuk mencari makan. Ada cerita komodo memakan ayam, ikan tangkapan nelayan, atau kambing peliharaan warga.

Arifin dan Tajudin adalah sebagian warga Pulau Komodo yang direkrut pengelola TNK menjadi pemandu wisata. Semula mereka adalah nelayan. Bagi Arifin, penghasilan Rp 40.000 per hari dari jasa wisata terbilang pas-pasan. Namun, angka itu lebih pasti dibandingkan pendapatannya dari laut.

TNK dibuka tahun 1980 sebagai salah satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia. TNK berlokasi di antara Pulau Sumbawa dan Flores, perbatasan NTT dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ada tiga pulau utama di dalam kawasan ini, yakni Pulau Komodo, Rinca, dan Padar. Sisanya, pulau-pulau kecil yang luasnya mencapai 602 kilometer (km) persegi.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Karyawan operator selam menunjukkan lokasi penyelaman di pulau-pulau yang ada di sekitar Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa (28/5/2013). Kota Labuan Bajo semakin berkembang dan telah menjadi destinasi wisata utama di Pulau Flores. Wisata Komodo telah menggerakkan sektor riil di Labuan Bajo.
Cuaca di TNK cenderung kering dan panas. Hujan hanya turun pada bulan Desember-Maret. Perbukitan di Pulau Komodo, Rinca, dan Padar bak sabana diselimuti rumput pendek.

Pertama kali ditemukan tahun 1910, komodo kerap disebut naga komodo. Dalam bahasa daerah Manggarai, komodo disebut ora. Komodo diklasifikasikan secara ilmiah tahun 1912 oleh PA Ouwens dari Taman Zoologi di Bogor, Jawa Barat.

Komodo terkadang juga disebut kadal raksasa. Sejarah mencatat, ada komodo yang panjang dari ujung moncong hingga ujung ekor mencapai 3,13 meter. Berat binatang yang kulitnya tebal bersisik itu rata- rata 50 kilogram (kg) meski ada yang bisa mencapai 100 kg.

Pengalaman

Sekitar 60 ranger bertugas di TNK yang memiliki luas 1.214 km2. Mereka menempati 11 pos di Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Tugas utama mereka adalah menjaga dan melindungi kawasan taman nasional, terutama dari perburuan liar atau pencurian kayu di dalam kawasan.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Seorang petugas jagawana (ranger) Pulau Rinca Kawasan Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Ranger bertempat tinggal di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, yang berjarak sekitar 1,5 perjalanan dengan kapal cepat (speedboat) menuju pos di Pulau Rinca atau Pulau Komodo. Mereka bertugas selama 10 hari, lalu kembali ke Labuan Bajo, bergantian dengan petugas lain. Satu pos dijaga tiga orang.

”Dahulu setiap ranger berjaga selama sebulan. Dengan pertimbangan kemanusiaan, diperpendek menjadi dua minggu. Saat ini 10 hari,” ujar Kepala Balai Taman Nasional Komodo Sustyo Iriyono.

Menjadi ranger di TNK tidak bisa dibilang mudah. Selain harus berhadapan dengan pencuri atau pengganggu kelestarian kawasan taman nasional, petugas juga harus berhadapan dengan komodo yang bisa bertemu sewaktu-waktu.

Untuk menjaga keamanan TNK, ranger berpatroli. Di Pulau Rinca dan Pulau Komodo, ada sekitar 5.400 komodo. Bisa jadi, saat berpatroli, ranger akan bertemu komodo. Oleh karena itu, teori mengenai komodo, antara lain, mengenai sikap, kebiasaan, dan perilaku, sudah pasti harus dipelajari.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Kapal-kapal pesiar berlabuh di sekitar Pelabuhan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa (28/5/2013). Kota Labuan Bajo semakin berkembang dan telah menjadi destinasi wisata utama di Pulau Flores. Wisata Komodo telah menggerakkan sektor riil di Labuan Bajo.
”Selain selalu waspada, jarak aman dengan komodo itu perlu setidaknya 5 meter. Jika dikejar komodo, arah lari jangan lurus, tetapi harus zig-zag,” ujar Donatus Dala (30), polisi hutan.

Menurut Donatus, komodo adalah satwa ganas meski terlihat lamban. Komodo mampu berlari dengan kecepatan 18 km per jam. Selain itu, komodo juga memiliki gerakan mendadak yang cepat untuk menggigit apa saja.

Donatus berkisah, beberapa tahun lalu saat sedang berpatroli di Pulau Rinca, ia melihat seekor komodo berjalan menuju suatu tempat sambil mengendus-endus tanah. Rupanya, komodo itu menuju sarang babi hutan. Di sarang itu, seekor babi hutan sedang beranak. Komodo itu memakan anak babi hutan yang berjumlah enam ekor itu satu per satu. Induk babi hutan juga dimangsanya.

Aloysius Sahu, ranger yang sudah 35 tahun bertugas di TNK, menegaskan, ranger harus mampu mengenali perilaku komodo dengan baik. Sahu, yang dipanggil rekan-rekannya dengan sebutan Uncle Luis (Paman Luis), pernah digigit komodo tahun 1997 saat menemani jurnalis China merekam aktivitas komodo.

Saat jurnalis China merekam komodo yang tengah mengejar babi hutan, Sahu terjatuh. Jarak dengan komodo tak sampai lima meter. ”Saat saya terjatuh itulah komodo mengalihkan perhatiannya. Saat itu pula betis kanan saya digigit. Beruntung tak sampai parah karena langsung mendapat penanganan medis,” ucap Sahu.

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Satwa endemik Komodo (Varanus Komodoensis) di Pulau Rinca, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (4/6/2012). Pulau Rinca merupakan salah satu habitat reptil purba Komodo. Berdasarkan data pada 2010 di pulau ini sendiri terdapat 1.336 ekor Komodo, sedangkan 1288 ekor di Pulau Komodo, 86 di Pulau Nusa Kode, dan 83 di Pulau Gili Motang.
Gigitan komodo sesungguhnya mengandung bakteri beracun. Setelah menggigit mangsa, komodo terkadang membiarkan mangsanya kabur. Dengan luka bekas gigitan bercampur liur komodo yang beracun, secara perlahan mangsa itu akan mati. Saat itulah komodo menelusuri jejak mangsa dan memangsanya. (Dewi Indriastuti)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com