Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senja Tercantik di Sarang Ora

Kompas.com - 19/10/2013, 12:12 WIB
SENJA di Pantai Labuan Bajo adalah senja yang cantik. Matahari yang bersembunyi di balik bukit menyisakan garis jingga menuju biru. Kapal pinisi yang bersandar menjelma siluet.

Keindahan alam sekitar Labuan Bajo tak berhenti di ujung senja. Bahkan, sampai ke dasar lautnya pun pesona taman telah menunggu. Sejak pagi, turis banyak yang berlayar menuju pulau sekitar. Beberapa di antaranya mengunjungi Pulau Rinca dan Pulau Komodo untuk menengok binatang komodo (Varanus komodoensis). Penduduk setempat menyebut komodo sebagai ora yang dianggap keajaiban dunia. Sungguh bagai sebuah surga kecil yang kini diincar oleh banyak kepentingan.

Kota Labuan Bajo menjadi ibu kota Kabupaten Manggarai Barat yang baru berdiri tahun 2006. Kawasan wisatanya memanjang tak lebih dari 5 kilometer. Obyek publik terpenting di sekitar Jalan Soekarno-Hatta itu adalah tempat pelelangan ikan, Pelabuhan Labuan Bajo, dan Pasar Labuan Bajo.

Kini, di antara obyek itu bertumbuhan restoran dan hotel. Tak kalah banyaknya adalah jasa penyedia perjalanan ke beberapa pulau di sekitar Labuan Bajo, seperti Pulau Rinca, Pulau Komodo, Pulau Kanawa, dan Pulau Pink. Penyedia jasa menyelam juga ikut menjejali tepi jalan selebar sekitar 8 meter itu.

Di luar keindahan itu, kehidupan sehari-hari Labuan Bajo tak beda dengan kehidupan kota-kota kecil di NTT. Jalanan kota pada siang hari relatif lengang, terlebih pada musim kemarau. Hanya terlihat angkutan kota berwarna hijau, putih, dan ungu mengangkut pelajar pulang sekolah. Beberapa truk dan mobil bak terbuka terparkir menurunkan pasokan kebutuhan sehari-hari. Memang enggan berjalan kaki siang hari di kota Labuan Bajo. Panasnya amat menyengat.

”Kolam Susu”

Wajah kota Labuan Bajo kini sedang berubah. Empat tahun lalu, penduduk setempat menceritakan belum seramai sekarang. Hotel dan restoran belum banyak meskipun hotel terbesar, The Jayakarta Komodo-Flores Suites, sudah berdiri. Wajah-wajah Eropa dan Amerika belum juga banyak berseliweran di kota.

”Keramaiannya memang terasa dalam dua tahun belakangan ini. Apalagi setelah komodo ditetapkan sebagai bagian dari tujuh keajaiban dunia. Investor asing berdatangan. Mereka membuat hotel dan restoran,” kata Kornelius Nando (34), warga Labuan Bajo.

KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI Komodo di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, disuguhi makan oleh pengelola Taman Nasional Komodo, Jumat (13/9/2013).
Nando mengeluh ada beberapa pembeli tanah dari luar Labuan Bajo, warga Indonesia ataupun asing, yang tidak segera memanfaatkan lahan yang telah dibeli. Dari arah Bandar Udara Komodo yang berjarak sekitar 7 kilometer dari kota memang terlihat beberapa tanah yang sudah diberi tanda milik seseorang.

Perubahan cepat itu pula yang memanggil perantau setempat untuk pulang kampung. Nando, misalnya, sempat merantau ke Surabaya selama sepuluh tahun. Dia kembali ke Labuan Bajo pada 2006, dan nyatanya ia ikut menikmati denyut pariwisata di kotanya. Sepulang dari Surabaya, ia mendatangkan benih kayu keras, seperti pohon cengkeh, ke daerah Ruteng, sekitar 130 kilometer dari Labuan Bajo.

Setelah jenuh dengan usaha itu, Nando berdagang ikan di pelabuhan Labuan Bajo. Ikan ia beli dari nelayan setempat. Usahanya melaju pesat. Salah seorang pembelinya adalah pemilik restoran di Jimbaran, Bali. Terkesan dengan keramahan Nando dan kualitas ikan, lobster, serta guritanya, Nando diminta mengirimkan hasil laut ke Jimbaran. Untungnya berlipat. Ia bisa dapat untung di atas Rp 100.000 per kilogram dari ikan dan udang yang ia kirim.

Belakangan, setelah semakin banyak hotel dan restoran di Labuan Bajo, Nando menghentikan pengiriman ke Jimbaran. Ia lebih tertarik memasok kebutuhan makanan laut di kotanya itu. Saat ditemui, Nando baru saja mengirim ikan kerapu ke restoran MadeInItaly, yang letaknya berdempetan dengan sebuah hotel.

Alam laut sekitar Labuan Bajo mengingatkan pada lagu ”Kolam Susu” dari Koes Plus, di mana ”Kail dan jala cukup menghidupimu/ Tiada badai tiada topan kau temui/ Ikan dan udang menghampiri dirimu...”

KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI Nelayan di Pulau Messah hanya bisa menangkap ikan berukuran kecil setiap bulan purnama. Biasanya, mereka bisa mendapat ikan kerapu atau udang. Hasil tangkapan laut itu untuk memasok kebutuhan bagi restoran dan hotel di Labuan Bajo, sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan perahu mesin. Pulau Messah berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Komodo.
Sebenarnya, ikan-ikan itulah yang memanggil Nando dan keluarga kecilnya kembali ke tanah Flores dari perantauan. Menurut Nando, ikan di daerah asalnya ini lebih segar dan punya cita rasa khas. ”Ikan kerapu di daerah Jawa juga ada. Tapi di sana kita harus memasukkan bermacam bumbu sebelum bisa menikmatinya. Sedangkan di sini cukup bakar saja, rasanya sudah sangat enak,” katanya.

Nando tidak sedang membual. Paul Rothschild (47), wisatawan asal AS, juga mengagumi kelezatan ikan kerapu Labuan Bajo. ”Rasanya segar, sangat gurih. Berbeda dengan ikan-ikan yang ada di pulau lain,” kata Paul yang baru saja menyantap ikan kerapu bakar tanpa bumbu di tepi pantai.

Permintaan ikan untuk restoran dan hotel sedang menggembirakan, kata Nando. Dalam satu hari, ia memasok hasil laut ke lima restoran dengan kapasitas sampai 30 kilogram. Untuk ikan kerapu, ia jual seharga Rp 40.000 per kilogram, sementara lobster sampai Rp 400.000 per ekor.

Ia mengambil keuntungan Rp 10.000 per kilogram untuk ikan dan Rp 100.000 per kilogram untuk lobster. Dengan hasil itu, Nando bisa hidup nyaman walau tak juga bermewah-mewah. Ia sedang menabung untuk kelak menyekolahkan ketiga anaknya, yang kini berusia di bawah lima tahun, ke Pulau Jawa. ”Demi pendidikan mereka yang lebih baik, melebihi orangtuanya,” katanya.

Tak terasa

Sebaliknya, para nelayan tak kunjung menikmati hasil manis dari gurihnya rasa ikan. Nelayan di Pulau Messah, sekitar 1,5 jam berperahu dari Labuan Bajo, hidup serba terbatas. Mereka harus menyisihkan pendapatan yang sudah pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan dasar: air bersih.

Air laut yang bening memang mengelilingi mereka. Pantai di Pulau Messah terlihat cantik. Pasir putihnya berimpitan dengan air yang kebiruan. Namun, tentu saja air itu tak bisa diminum atau untuk memasak. Mereka terpaksa membeli air bersih untuk keperluan itu. Harga satu jeriken air bersih berkapasitas 20 liter sekitar Rp 2.000. Air itu didatangkan dari Pulau Flores, dari perbukitan di atas Labuan Bajo. Warga Pulau Messah tak dianugerahi sumber air bersih. Satu-satunya bukit yang agak tinggi bermaterial batu karang.

KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI Wisatawan diangkut dengan perahu menuju Pulau Rinca, salah satu pulau habitat komodo di kawasan Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa (24/9/2013). Perjalanan menuju pulau itu dari Kota Labuan Bajo memakan waktu sekitar tiga jam.
Setiap hari, satu keluarga beranggota sekitar lima orang membutuhkan sedikitnya empat jeriken air bersih. Uang Rp 8.000 sudah terpotong untuk itu. Listrik juga jadi kendala lain. Mereka membayar Rp 90.000 per bulan untuk menerangi rumah dan menonton pertandingan sepak bola di televisi. Namun, listriknya hanya menyala dari pukul 18.00 sampai 23.00. Setelah itu gelap dan senyap.

”Kami memang berlimpah ikan. Itu tak perlu beli, tinggal pancing saja. Tapi, sayangnya, untuk air kami harus beli cukup mahal. Saat ini ada satu mesin pengubah air laut jadi air tawar, tapi sedang rusak. Jika mesin itu betul, kami tetap harus beli air hasil penyulingannya,” kata Nurdin (32), nelayan di Pulau Messah, yang rata-rata penghasilannya Rp 70.000 per hari, masih dipotong utang sana-sini. Kisah Nurdin itu menyiratkan bahwa gairah dari penetapan komodo sebagai keajaiban dunia dan perhelatan Sail Komodo belum menyentuh Pulau Messah.

Namun, bila ada kesempatan, berkunjunglah ke tempat ini. Selain alamnya cantik, masyarakatnya pun ramah. Dan tentu saja demi senja itu. Senja yang, kata sastrawan Seno Gumira Ajidarma, pantas dikirim untuk kekasih…. (Herlambang Jaluardi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com