Tidak ada sign board yang besar dan mencolok mata, tidak ada pula bangunan megah dengan arsitektur zaman Belanda atau arsitektur kuno ala museum kebanyakan. Yang ada hanyalah pintu gerbang kayu yang besar, yang menutupi bentuk bangunan di dalamnya dan nama museum yang tertempel di tembok kanan, dan kiri sebagai penanda.
Untuk bisa memasuki Museum di Tengah Kebun, pengunjung tidak dikenakan biaya apa pun. Tapi, sulit sekali memang untuk bisa masuk melihat-lihat koleksi museum itu. Anda harus memiliki rombongan paling sedikit tujuh orang dan paling banyak 12 orang untuk bisa masuk museum.
Waktu berkunjung pun harus ditetapkan jauh-jauh hari dan harus dirundingkan dengan pengelola museum. Kira-kira, begitulah keterangan yang bisa didapatkan dari selembar kertas yang tertempel di pagar kayu besar museum.
Memasuki Museum
Hari itu, Sabtu (5/10/2013), kesempatan saya untuk mengunjungi Museum di Tengah Kebun pun tiba. Bersama rombongan lainya yang berjumlah 10 orang, kami diizinkan menyusuri dan melihat koleksi museum tersebut.
Memasuki gerbang utama, di balik pagar kayu besar yang menutupi seluruh pemandangan rumah, saya sudah dikejutkan dengan halaman yang begitu luas. Bagunan utama menyerupai rumah terletak sekitar cukup jauh dari tempat saya berdiri. Sebelum mencapai bangunan utama, saya harus melewati kebun sepanjang 60 meter dengan lebar 7 meter.
Menurut pengelola museum, Mirza Djalil, pengunjung sering menyebut tempat ini sebagai lorong waktu. Suasana sejuk dan nyaman saya rasakan ketika melintasi “lorong waktu” tersebut. di bagian kanan dan kiri terdapat tanaman-tanaman hijau yang tertata apik dan terlihat subur. Seketika saya merasa seperti bukan berada di Jakarta.
Mulai dari topeng, patung, sampai fosil pohon yang berasal dari Masa Triassic di Pulau Jawa, 248 juta tahun sebelum masehi. Ada juga fosil kerang dari Maroko, yang berasal dari Masa Jurasic, 230 juta tahun sebelum masehi. Belum lagi fosil lebah raksasa yang ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah, dan belum diketahui umurnya.
Ketika ditanya, mengapa barang seberharga itu ditaruh di halaman saja, Mirza hanya menjawab, “Ini rumah, rumah saya". "Saya yang desain," kata Mirza menirukan Sjahrial Dalil, pemilik museum sekaligus paman Mirza, ketika ditanya tentang tata letak barang-barang di museum ini.
Koleksi Berharga
Museum di Tengah Kebun memiliki 2.841 koleksi. Semua koleksi itu tersebar di 17 ruangan di bangunan utama seluas 700 meter persegi, yang merupakan rumah Sjahrial Djalil, mulai dari pintu masuk, kamar tidur, sampai kamar mandi. Selain itu, barang-barang juga tersebar di halaman dan kebun seluas 3.500 meter persegi. Bahkan masih ada barang-barang koleksi yang belum dipajang yang jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat dari barang yang dipajang.
Semua barang-barang bernilai sejarah itu dikumpulkan Sjahrial Djalil selama 42 tahun terakhir. Ia melakukan perjalanan keliling dunia sebanyak 26 kali. Selama perjalanan itu, ia banyak mengunjungi museum-museum di luar negeri dan merasa kecintaannya terhadap barang-barang sejarah semakin besar. Sebanyak 90 persen barang-barang sejarah ia dapatkan di Balai Lelang di berbagai kota di Eropa, Amerika, Hong Kong, dan Australia. Semua koleksi yang dimiliki Sjahrial pun berasal dari 63 negara dan 21 provinsi di Indonesia.
“Misinya Pak Sjahrial Djalil mengembalikan barang-barang heritage Indonesia yang ada di luar negeri,” ujar Mirza.
Pasalnya, barang-barang sejarah Indonesia memang banyak yang tersebar di luar negeri. Hal ini sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda dulu. Bahkan bangsa Indonesia sendiri pun tidak tahu akan kenyataan ini. Kekayaan bangsa Indonesia diambil begitu saja, dan dijual dengan harga yang mahal di balai lelang.
Untuk itulah, Sjahrial Djalil mencoba membawa barang-barang itu kembali pulang ke Tanah Air walaupun tidak semuanya berhasil dibawa. “Belum semua karena barang-barang kita itu super mahal,” ucap Mirza.
Ada lukisan, patung, arca, wayang, keramik, topeng, kursi, meja, hiasan dinding, peti kayu, lemari, payung, dan tongkat. Ada juga tempat perhiasa, tempat manisan, peralatan makan, vas bunga, lampu, perhiasan, dan masih banyak lagi. Semuanya tertata dengan apik di setiap sudut rumah, dilengkapi dengan penamaan dan tahun barang itu dibuat.
“Waktu ikut lelang, banyak orang yang pengen kuda Tang ini. Nah Pak Syahrial Djalil berjuang untuk dapat itu karena nilai sejarahnya,” tutur Mirza.
“Kita lihatnya sejarahnya, kalau sejarah itu nggak ternilai,” tambah Mirza.
Selain berbagai koleksi yang bernilai sejarah tinggi, beberapa material bangunan museum, yang sebenarnya masih menjadi rumah tingga Sjahrial Djalil ini, juga berasal dari material-material bersejarah, seperti bau bata dan engsel pintu. Batu bata didapatkan dari pembongkaran gedung-gedung tua di Pasar Ikan yang ternyata merupakan bangunan VOC yang berusia 400 tahun. Sementara engsel pintu berasal dari abad ke 18, bekas dari penjara wanita di Bukit Duri.
Asal barang-barang yang beragam dan tahun pembuatannya yang berbeda-beda juga memberikan pelajaran tersendiri bagi setiap pengunjung museum. “Museum di Tengah Kebun ini untuk belajar dan mengetahui peradaban manusia,” kata Mirza. Menurutnya, kita dapat mengetahui seberapa maju peradaban kita ini dengan melihat hasil peradaban di masa lalu.
Bersantai di kebun ditemani segelas es teh dari pengelola museum, setelah menambah pengetahuan tentang barang-barang bersejarah, sungguh momen-monen yang tak ternilai harganya. “Kalau dia (Sjahrial Djalil) meninggal nanti ini kan diwariskan kepada bangsa Indonesia terutama generasi muda,” ucap Mirza.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.