Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rizal Bahalwan, Penggiat Wisata Banda

Kompas.com - 20/10/2013, 10:34 WIB
PELUH terus mengalir di wajahnya. Berulang kali ia menyekanya dengan sapu tangan. Meski demikian, Rizal Bahalwan (38) tetap bersemangat menerangkan semua hal tentang Kepulauan Banda. Dari soal pala, kenari, perahu kora-kora, hingga sejarah peperangan yang pernah terjadi di kepulauan yang pernah menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa itu.

Rizal adalah putra asli Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Melihat besarnya potensi wisata di kepulauan yang terletak di timur laut Laut Banda itu, dia pun tergerak untuk mengelolanya. Terlebih lagi di kawasan tersebut masih banyak obyek wisata yang belum tergarap dan belum dikemas dalam paket-paket wisata yang menarik, seperti di daerah wisata lain.

Padahal, sejak lama Banda dikenal dengan wisata alam bawah lautnya. Banyak situs selam dan snorkeling (selam permukaan) bertebaran di seluruh kepulauan yang termasuk dalam kawasan Taman Laut Banda. Mulai di sekitar Pulau Neira yang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi di Kepulauan Banda, di kaki Gunung Banda Api, Pulau Ai di sisi barat, Pulau Sjahrir (Pulau Pisang) di utara, hingga Pulau Hatta (Pulau Rozengain) di ujung tenggara.

Bagi penggemar sejarah, Banda bisa dikatakan sebagai gudangnya. Di Neira saja, begitu banyak situs yang bisa dikunjungi orang, seperti Benteng Belgica di Pulau Neira yang kondisinya cukup baik karena telah dipugar, gereja tua Hollandische Kerk yang beberapa kali dipugar akibat gempa ataupun konflik, hingga Istana Mini yang merupakan kantor Gubernur Jenderal Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC).

Ada pula situs para pahlawan nasional yang pernah dibuang ke Banda, di antaranya rumah sang proklamator Mohammad Hatta, juga rumah Sutan Sjahrir. Selain itu, masih ada situs perlawanan rakyat Banda saat menghadapi penjajahan bangsa-bangsa asing.

Semua itu belum termasuk berbagai obyek wisata yang menampilkan keindahan alam dan tersebar di sejumlah pulau di Kepulauan Banda. Besarnya potensi wisata Banda itulah yang memantapkan hati Rizal.

”Semua obyek wisata itu bisa ’dijual’ kepada turis domestik dan mancanegara. Akan tetapi, tanpa pengelolaan yang baik, Banda akan kalah bersaing dengan obyek serupa di daerah lain,” katanya.

Keyakinan Rizal semakin kuat setelah membantu tim media asal Inggris yang ingin membuat film dokumenter tentang rempah-rempah. Banda adalah salah satu pusat rempah yang sangat berpengaruh di dunia pada abad ke-16 hingga ke-17. Wangi rempah itulah yang membuat bangsa- bangsa Barat datang dan menjajah Banda. ”Pala ternyata sangat menarik untuk dieksplorasi. Dengan kemasan yang baik, pasti banyak wisatawan yang tertarik,” ujar Rizal.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Rizal Bahalwan.
Meski demikian, kemasan wisata yang baik tidak akan membawa hasil besar tanpa kesiapan masyarakat sekitarnya. Mendidik masyarakat agar sadar wisata hingga mampu memberikan kenyamanan bagi para wisatawan pun kemudian dilakukan Rizal melalui Yayasan Komunitas Pengembangan Masyarakat Banda yang berdiri sekitar tahun 2010.

Mengajak masyarakat sadar wisata tersebut dia lakukan mulai dari hal-hal kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya. Selama ini masyarakat terbiasa membuang sampah ke laut. Akibatnya, laut yang menjadi salah satu daya tarik utama wisata Banda justru dipenuhi sampah.

”Kami perlu melakukan kampanye terus-menerus agar masyarakat tidak membuang lagi sampahnya ke laut,” kata Rizal.

Promosi

Masyarakat juga diajaknya untuk tak membiarkan lahan-lahan kosong, terutama di sekitar rumah yang ditumbuhi tanaman liar. Secara bertahap, Rizal mengajak masyarakat untuk membersihkan sejumlah lahan kosong yang ada di Banda Neira agar terlihat asri dan tidak menjadi sarang nyamuk.

Bersamaan dengan itu, Rizal juga rajin mempromosikan wisata Banda melalui sejumlah media dan jejaring sosial. Ia berharap dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, Banda makin dikenal luas, terutama oleh masyarakat di luar Banda.

Usahanya tersebut membuahkan hasil. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Banda setiap tahun rata-rata mencapai 1.500 orang, padahal sampai awal 2000-an hanya sekitar 500 turis. Itu pun didominasi wisatawan asing.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com