Rizal adalah putra asli Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Melihat besarnya potensi wisata di kepulauan yang terletak di timur laut Laut Banda itu, dia pun tergerak untuk mengelolanya. Terlebih lagi di kawasan tersebut masih banyak obyek wisata yang belum tergarap dan belum dikemas dalam paket-paket wisata yang menarik, seperti di daerah wisata lain.
Padahal, sejak lama Banda dikenal dengan wisata alam bawah lautnya. Banyak situs selam dan snorkeling (selam permukaan) bertebaran di seluruh kepulauan yang termasuk dalam kawasan Taman Laut Banda. Mulai di sekitar Pulau Neira yang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi di Kepulauan Banda, di kaki Gunung Banda Api, Pulau Ai di sisi barat, Pulau Sjahrir (Pulau Pisang) di utara, hingga Pulau Hatta (Pulau Rozengain) di ujung tenggara.
Bagi penggemar sejarah, Banda bisa dikatakan sebagai gudangnya. Di Neira saja, begitu banyak situs yang bisa dikunjungi orang, seperti Benteng Belgica di Pulau Neira yang kondisinya cukup baik karena telah dipugar, gereja tua Hollandische Kerk yang beberapa kali dipugar akibat gempa ataupun konflik, hingga Istana Mini yang merupakan kantor Gubernur Jenderal Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC).
Ada pula situs para pahlawan nasional yang pernah dibuang ke Banda, di antaranya rumah sang proklamator Mohammad Hatta, juga rumah Sutan Sjahrir. Selain itu, masih ada situs perlawanan rakyat Banda saat menghadapi penjajahan bangsa-bangsa asing.
Semua itu belum termasuk berbagai obyek wisata yang menampilkan keindahan alam dan tersebar di sejumlah pulau di Kepulauan Banda. Besarnya potensi wisata Banda itulah yang memantapkan hati Rizal.
”Semua obyek wisata itu bisa ’dijual’ kepada turis domestik dan mancanegara. Akan tetapi, tanpa pengelolaan yang baik, Banda akan kalah bersaing dengan obyek serupa di daerah lain,” katanya.
Keyakinan Rizal semakin kuat setelah membantu tim media asal Inggris yang ingin membuat film dokumenter tentang rempah-rempah. Banda adalah salah satu pusat rempah yang sangat berpengaruh di dunia pada abad ke-16 hingga ke-17. Wangi rempah itulah yang membuat bangsa- bangsa Barat datang dan menjajah Banda. ”Pala ternyata sangat menarik untuk dieksplorasi. Dengan kemasan yang baik, pasti banyak wisatawan yang tertarik,” ujar Rizal.
Mengajak masyarakat sadar wisata tersebut dia lakukan mulai dari hal-hal kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya. Selama ini masyarakat terbiasa membuang sampah ke laut. Akibatnya, laut yang menjadi salah satu daya tarik utama wisata Banda justru dipenuhi sampah.
”Kami perlu melakukan kampanye terus-menerus agar masyarakat tidak membuang lagi sampahnya ke laut,” kata Rizal.
Promosi
Masyarakat juga diajaknya untuk tak membiarkan lahan-lahan kosong, terutama di sekitar rumah yang ditumbuhi tanaman liar. Secara bertahap, Rizal mengajak masyarakat untuk membersihkan sejumlah lahan kosong yang ada di Banda Neira agar terlihat asri dan tidak menjadi sarang nyamuk.
Bersamaan dengan itu, Rizal juga rajin mempromosikan wisata Banda melalui sejumlah media dan jejaring sosial. Ia berharap dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, Banda makin dikenal luas, terutama oleh masyarakat di luar Banda.
Usahanya tersebut membuahkan hasil. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Banda setiap tahun rata-rata mencapai 1.500 orang, padahal sampai awal 2000-an hanya sekitar 500 turis. Itu pun didominasi wisatawan asing.
Banyaknya turis asing yang datang ke Banda membuat masyarakat juga terbiasa dengan mereka. Anak-anak kecil di Banda, misalnya, mulai berani menyapa para turis dengan bahasa Inggris sesuai dengan kemampuan masing-masing.
”Dulu saya pun demikian, belajar bahasa Inggris dari para turis asing dengan cara mendekati dan mengajak mereka mengobrol. Saya juga meminta mereka untuk memperbaiki bahasa Inggris saya jika ada yang salah,” kata Rizal.
Rizal mengaku pernah naik turun ke puncak Gunung Banda Api hingga puluhan kali dalam satu hari. Untuk satu kali mengantar turis, dia mendapat upah Rp 20.000.
”Ketika itu bayaran sebesar Rp 20.000 sudah lumayan besar untuk seorang remaja. Uang hasil mengantar turis itu saya kumpulkan untuk membiayai sekolah,” ujarnya. Kini, rata-rata pemandu wisata di Banda tarifnya Rp 100.000-Rp 150.000 per hari.
Penginapan
Setelah menamatkan kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pattimura, Ambon, Rizal sempat vakum dari dunia pariwisata. Ia bekerja sebagai tenaga pemasaran kerang mutiara milik ayah temannya.
Namun, kegiatan itu tak bertahan lama. Setelah mendapat cukup uang dari hasil penjualan mutiara, Rizal kembali ke Banda. Ia membeli rumah di Neira yang dijadikan penginapan kecil. Dia melibatkan anggota keluarganya untuk mengelola penginapan dan melayani tamu.
Kini, Rizal mampu membeli satu rumah yang lebih besar di kawasan Parigi Rante, daerah yang dekat dengan salah satu situs sejarah di Pulau Neira. Rumah peninggalan Belanda itu dia renovasi dengan menambahkan sentuhan-sentuhan kolonial, seperti memasang lambang-lambang VOC.
Untuk mendukung wisata Banda, Rizal berharap lebih banyak penerbangan dan pelayaran ke Banda. Selama ini kapal besar yang rutin mendatangi Banda intensitasnya hanya sekali dalam satu-dua minggu. Penerbangan perintis ke pulau ini dari Ambon pun terbatas, tidak setiap waktu tersedia. Dengan akses transportasi yang lebih mudah, diharapkan makin banyak wisatawan yang berkunjung ke Banda. (M Clara Wresti dan Gregorius M Finesso)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.