Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Sukamade Kami Bertemu...

Kompas.com - 23/10/2013, 10:30 WIB

Kabut menebal saat saya mendaki ke Pronojiwo. Hari Sabtu (12/10/2013) saya harus menempuh perjalanan panjang sampai Jember. Saya bangun dengan badan segar dan mental yang sangat positif untuk perjalanan hari ini.

Saat memasuki Desa Pronojiwo, matahari mulai terbit. Puncak Mahameru yang tadi membayang di kegelapan menampak sosoknya yang kokoh. Puncak pasirnya memerah disapa mentari. Sesekali meletup asap putih yang membentuk tiang awan, yang kerap menjadi ikon foto pendaki di Mahameru. Guratan lerengnya membentu jurang dalam dan lembah besar berpasir.

Di tengah bahaya letusan yang senantiasa mengancam, Mahameru benar-benar memuntahkan rezeki bagi penduduk sekitar lerengnya. Lembah dalam dan punggungan besar di badan gunung menciptakan pesona alam yang diolah menjadi tempat-tempat wisata seperti Gunung Bromo, Coban Pelangi, Ranupani, Goa Tetes, dan lainnya.

Setelah mendaki 20 km, saya sampai di Piket Nol, puncak tertinggi di jalur itu dengan ketinggian 750 mdpl. Tempat legendaris itu berupa taman dan ada pos polisi di dekatnya. Para pelintas biasa beristirahat di taman atau warung di sekitarnya sambil menikmati pemandangan ke arah laut selatan maupun Puncak Mahameru.

Ada yang menyebut tempat itu dulunya pos pemeriksaan Belanda untuk mengecek pengangkut hasil bumi yang lewat. Tapi tak ada literatur yang menguatkan hal itu, setidaknya sejauh yang saya gali informasinya.

Dari Piket Nol, saya meluncur turun berkelok-kelok menuju Lumajang. Turun satu punggungan, sampailah saya di jembatan Gladak Perak yang terkenal. Keindahan arsitektur jembatan berpadu dengan dahsyatnya jurang dalam di antara dua punggungan yang dihubungkannya. Panjang jembatan sekitar 65 meter menjulang di atas bekas aliran lahar Semeru yang disebut Besuk Kobo’an.

Ada dua jembatan di sana. Satu buatan Belanda yang sudah tidak digunakan lagi dan lainnya jembatan beton sepanjang 130 meter yang dibangun pemerintah Indonesia pada tahun 2001.

Di kiri dinding tebing dan kanan jurang dalam dari lembah besar yang mengarah ke lereng Semeru. Hati-hati betul saya berkelok ala Valentino Rossi, karena rem sepeda cantilever yang saya gunakan daya pengeremannya kurang.

Dihabisi Gunung Gumitir

Suara adzan subuh membangunkan saya di Kalibaru, sekitar 38 km selepas Jember. Lantunan ayat suci Alquran itu di benak saya seperti berbisik: "Kamu itu bukan apa-apa kalau hanya mengandalkan dirimu. Sandarkan semua pada Allah, lakukan semuanya hanya karena dan untuk Dia. Semua letih sakit ragamu akan diangkat dan kamu akan lebih kuat".

Setelah seharian penuh terpanggang mentari sejak mendaki dari Tlogosari ke Piket Nol, menyusuri jalur pedesaan dari Lumajang ke Jember, mendaki penuh 28 km selepas Jember, ditutup dengan pendakian berat 10 km lalu menuruni Gunung Gumitir di malam gelap, saya merasa habis. Tak ada lagi tenaga tersisa dan fisik begitu rapuh saat mencapai Kalibaru pukul 21.00.

Sebenarnya bisa saja saya berhenti pada sore hari. Namun perhitungan jarak dan waktu mengharuskan saya melanjutkan perjalanan sebisa mungkin, mencapai titik terjauh yang bisa dicapai sepanjang hari. Kalau tidak, saya tak akan pernah sampai ke Sukamade.

Target saya masuk Kalibaru, sekitar 120 km dari Tlogosari (saya tak memakai cyclometer, jadi kalkulasi jarak hanya berdasarkan rambu yang ada). Saya mengayuh seefisien mungkin, dengan putaran sedang dan kecepatan di medan datar 25-30 km/jam dan melambat di tanjakan.

Namun karena beratnya medan, baru pukul 17.00 bisa masuk Jember. Itu pun sudah dengan mengayuh seharian sejak pukul 04.00. Normalnya, dalam sehari sebaiknya mengayuh tak lebih dari delapan jam.

Tapi ya itu tadi, kalau berhenti, saya tak akan sampai di tujuan. Maka setelah makan sepiring sate dan tiduran sebentar di warung di pinggiran Jember, saya lanjutkan perjalanan malam. Ternyata 38 km terakhir itu benar-benar menguras tenaga. Saya merasa benar-benar sendirian dan tak berdaya.

M AGUNG PRIBADI Panen Tegalsari.
Saat menuruni Gunung Gumitir di kegelapan malam, di sela bus besar dan truk gandeng yang lewat, sepeda saya seperti berjalan sendiri dituntun naluri. Lampu tak mampu menembus pekatnya gelap hutan yang rimbun menahan sinar rembulan. Orang-orang di warung makan terkaget-kaget melihat saya datang dengan sepeda. Bapak pemilik warung menerima saya bermalam. Selesai makan, saya langsung tertidur pulas dibalut sleeping bag.

Suara adzan subuh meniupkan spirit baru. Secara transendental, itu menebalkan tekad saya untuk mencapai tujuan, lebih pasrah mengandalkan kekuatan Sang Pemilik Perjalanan. Masih ada rute Kalibaru-Pesanggaran dan Pesanggaran-Sukamade. Seiring matahari terbit pagi ini, saya lanjutkan perjalanan dengan semangat baru.

Melepas Medina di Sukamade

Nurhuda Abdullah, mahasiswa Pertanian Universitas Negeri Jember itu bersepeda dari tempatnya kuliah ke rumahnya di Banyuwangi, Minggu (12/10/2013). Jarak 95 kilometer ditempuh dengan sepeda butut pinjaman dari temannya, demi pulang ke rumah merayakan Idul Adha bersama orangtua.

Huda mengaku sudah tidak punya uang sama sekali. Dia tak mau meminta ke orangtuanya, meski ongkos bus hanya Rp 5.000, dan memilih mati raga dengan bersepeda jauh.

Kedua orangtua Huda yang buruh tani benar-benar sedang kesusahan karena panenan gagal diserang hama tikus. Sekitar sebulan menjelang panen, tikus pesta menyerbu pertanian di kawasan Banyuwangi hingga Jember. Petani hanya bisa pasrah dan memanen sisa yang ada.

"Ini sisa tikus tapi tetap bersyukur pak. Masih ada yang bisa dipanen untuk makan," tutur Tri, petani yang saya temui di Desa Tegalsari, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi.

Bersama saudara dan tetangganya, Tri sedang memanen sawah. Biasanya sepetak sawah itu menghasilkan satu ton padi, namun kini tinggal setengahnya saja.

Meski begitu Tri dan petani lain tetap penuh semangat memotong dan mengumpulkan batang padi. Sesekali canda tawa terdengar. Wajah mereka  berhias senyum yang tulus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com