Sebelum tur ke lokasi, wisatawan diminta mengenakan kain yang disediakan khusus. Mereka kemudian diajak jalan menelusuri pematang sawah menyaksikan tanaman, kegiatan bertani dan berkebun, serta melihat saluran irigasi dan embung. Di salah satu embung, yaitu di Embung Dao, wisatawan bisa melihat panorama Gunung Rinjani.
Atraksi menarik bagi wisatawan adalah aktivitas petani di sawah saat musim tanam-petik. Mereka bisa mencoba mencangkul dan membajak sawah dengan alat bajak yang ditarik dua ekor sapi. Wisatawan juga bisa melihat proses belajar-mengajar di sekolah, mengunjungi kantor desa, puskesmas, sentra kerajinan anyaman, dan kegiatan usaha kerupuk.
Dengan tur tersebut, wisatawan punya gambaran riil tentang dunia pendidikan dan pelayanan di tingkat pemerintahan desa. Siswa pun dapat praktik langsung berbahasa Inggris dengan wisatawan.
”Di sini wisatawan melihat suasana, fasilitas kelas yang tersedia, berbeda dengan fasilitas sekolah di negara mereka yang serba main kenop dan touch screen,” ujar Habib.
Begitu pun aparat kantor desa yang selama ini malas-malasan bekerja menjadi lebih rajin dan betah di kantor karena tempat kerjanya pasti disambangi wisatawan.
Seusai keliling desa, wisatawan diajak ke salah satu rumah warga untuk makan siang. Mereka disuguhi lauk-pauk dan sayuran lokal. Ada juga makanan ringan, seperti ubi rebus, kacang rebus, kerupuk, dan lainnya. Warga yang menerima tamu diatur secara bergiliran.
Untuk jasa itu, warga, termasuk desa dan sekolah, kecipratan rezeki dari penjualan paket tur dengan persentase yang ditentukan. Warga desa yang merasakan manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata ini, antara lain para perajin ketak (tumbuhan jenis rumput-rumputan yang dianyam menjadi wadah buah-buahan berbentuk oval, lepekan, dan perlengkapan rumah tangga).
Tidak jarang pula peralatan rumah tangga, seperti gerabah, yang tersimpan lama justru dibeli wisatawan. Artinya, perajin bisa menjual hasil karyanya di tempat saat dikunjungi wisatawan. Biasanya hasil kerajinan itu, seperti wadah buah-buahan, dijual ke Pasar Barabali di Desa Barabali, Kecamatan Batukliang, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Desa Mas-Mas. Wadah buah itu dijual Rp 15.000 per buah, sementara ongkos transportasi pergi pulang Rp 10.000. Setelah dipotong harga transportasi, perajin hanya mengantongi keuntungan sebesar Rp 5.000. Jika dibeli langsung oleh wisatawan yang mampir ke rumah mereka, perajin paling tidak bisa mendapatkan Rp 15.000 per buah.
Perkembangan desa itu menguburkan kesan buruk tentang dunia perpelancongan. Bahkan, orangtua senang menyaksikan anak-anak berkomunikasi dengan wisatawan asing. Siswa SD hingga SMA di Desa Mas-Mas mengikuti les privat bahasa Inggris lima hari dalam sepekan, pukul 06.00-07.15, atau sebelum jam belajar di sekolah dimulai. Ruang belajarnya di Pondok Santri, melibatkan tutor dari kalangan siswa.
Banyak wisatawan yang tidak puas hanya berkunjung sehari, lalu ingin menginap di desa itu. Namun, permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena belum ada penginapan yang memenuhi standar. Toh, Habib tidak bisa mengelak apabila satu-dua wisatawan ngotot menginap dan bersedia ”mondok” di salah satu ruangan sempit dan sederhana di Pondok Santri. Sebuah peluang untuk lebih menggiatkan pariwisata di Desa Mas-Mas. (Khaerul Anwar)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.