Tak kurang dari 400-an peserta pesta yang menampilkan ukiran, perahu, anyaman, dan tarian beserta tetabuhan khas Papua, tifa, menjadi daya tarik bagi pengunjung yang nampak terus mengalir di atas jalan panggung Agats yang sebagian sudah dibeton, dan sebagian lain masih beralas kayu.
Hampir 1.000 pengunjung memadati lapangan panggung yang luasnya sekitar 8.000 meter persegi. Agats bertanah rawa, sehingga semua jalan dan rumah, termasuk lapangan pun dibina dengan sistem panggung.
Diperkirakan sebanyak 200 ukiran, 62 anyaman, dan 18 perahu telah lolos seleksi. Dari 19 distrik yang ada di Asmat, 7 distrik saat ini sudah terdaftar dengan masing-masing distrik diwakili 20 penari. Jumat (11/10/2013), tiap distrik menampilkan tariannya masing-masing seraya menemani para pemahat patung menunjukkan keahliannya memahat.
Sejak Jumat pagi, warga Asmat berkumpul di dermaga Agats di tepi Sungai Aswetj. Sebanyak 17 perahu mempertontonkan keseimbangan dan kecepatannya di depan warga Asmat dan tak kurang dari 5 negara tamu yang hadir. Ritual yang dipimpin kepala adat pun menarik perhatian warga, media dan tamu asing.
"Tahun 1981 hanya ada 36 pemahat saja yang ikut, dan sekarang sudah berkembang menjadi 200 orang," kata Erick.
Dalam lomba patung dan anyam, ada beberapa kategori yang diperlombakan. Patung mitos yang paling menarik karena memiliki filosofi mendalam dari tiap suku. Ada pula kategori hiasan dan diambi dari tema kehidupan suku Asmat. Pemenang pertama akan dihargai dengan hadiah uang dan disimpan sebagai koleksi di Museum Budaya Asmat. Sisanya akan dilelang dengan harga bervariasi.
Keindahan ukiran Asmat tak dapat dipungkiri menjadi yang terbaik saat ini di dunia. Uniknya, semua pemahat tak pernah membuat desain terlebih dahulu. Semua direncanakan dalam ingatan mereka. Selain itu originalitas tiap patung sangat tinggi. Tak ada satu patung Asmat yang dibuat sama. Tiap patung sifatnya unik dan hanya satu, tak pernah dibuat dua buah yang sama sejenis.
Hari itu banyak sekali karya dipamerkan di lapangan Yos Sudarso, mulai dari patung, perahu, tombak, perisai, tifa hingga anyaman.
Nampak beberapa tetua mengenakan owese, tas berhias dengan bulu kakatua sebagai lambang kepemimpinan. Beberapa di antara warga, mengenakan mahkota dari kulit kuskus dan burung yakub.
Kayu besi, kayu merbau, kayu pit juga kayu perahu dipakai sebagai bahan dasar pengukiran. Tiga warna dasar yang digunakan dalam pewarnaan patung ialah putih, merah, dan hitam, yang semuanya didapat dari bahan alami. "Kayu biasanya diukir dalam keadaan basah. Pengukir semua pria, dari dulu dan akan selalu pria," ujar Erick.
Saat bekerja, para pengukir biasanya tak pernah berbicara sedikit pun, kecuali bernyanyi ritual, karena saat proses mengukir, mereka yakin tengah berkomunikasi dengan para leluhur.
Dengan mengusung tema "Mendayung Perahu Penuh Keseimbangan Demi Mempertahankan Jati Diri Asmat dan Melestarikan Nilai-nilai Luhur Dalam Kesinambungan Pembangunan Budaya Nusantara" pesta ini dihadiri oleh Kepala Desk Wisata Eropa-Amerika Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Maria Mayabubun.
"Hidup harus seimbang, karena tak hanya manusia yang mendiami bumi. Ada roh, binatang, tumbuhan, dan alam sekitar yang saling ketergantungan," kata Yuvensius yang sangat dihormati warga Asmat.
Suatu pengalaman yang akan abadi terukirkan dalam kenangan saat Anda bisa berada di sini, bercengkerama dengan para pemahat yang ramah, mengenakan noken berhias dan mahkota kebanggaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.