Para pendulang yang berasal dari Kepulauan Kei, Sulawesi, Timor, dan Jayawijaya tersebut mengais serpihan emas yang hanyut terbawa tailing. Mereka adalah bagian dari ratusan ribu pendatang dari hampir semua wilayah di Indonesia yang mencari peruntungan di Timika. Sebagian dari mereka menjadi pekerja pada PT Freeport Indonesia dan kontraktor yang beroperasi untuk perusahaan tambang itu. Sementara yang lain bekerja di sektor informal, seperti pedagang, tukang ojek, pengayuh becak, hingga tukang cukur.
Pada Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Mimika sekitar 168.000 orang. Namun, ketika pemilihan bupati Mimika 2013-2018 digelar pada 10 Oktober lalu, diperkirakan jumlah penduduk Mimika telah berlipat jadi 305.000 orang.
Sejak PT Freeport Indonesia beroperasi, kemilau emas dan dampak ikutannya telah menarik para pendatang memadati tanah ulayat warga Kamoro, salah satu suku asli Milika, tersebut. Aktivitas pertambangan telah mengubah wajah Timika menjadi kota padat penduduk. Lorong-lorong kota itu kini dijejali rumah penduduk. Bantaran sungai pun berubah menjadi permukiman. Sungai menjadi kotor dan jorok penuh sampah. Kota yang dulu berhutan lebat kini berganti menjadi hutan ruko (rumah toko).
Kuala Kencana
Namun, Timika juga memiliki wajah lain, Kuala Kencana. Kota yang berjarak sekitar 15 menit dari Timika dan menjadi salah satu pusat administrasi dan permukiman pekerja PT Freeport Indonesia tersebut tertata sangat rapi. Dahulu kota itu bernama Kota Baru, tetapi pada 1995 diubah menjadi Kuala Kencana, atau Belanga Emas, oleh Presiden Soeharto.
General Superintendent Proyek Khusus PT Freeport Indonesia, Ermon Hasiholan mengatakan, kota yang dikembangkan untuk mendukung operasi tambang di Tembagapura itu dibangun dengan sistem zonasi berdasarkan fungsi, seperti perumahan, perkantoran, persekolahan, pertokoan, pergudangan, dan perbengkelan. Kota itu juga memiliki jaringan jalan dan kaki lima yang tertata sangat rapi dan nyaman karena bersisian dengan hutan lebat serta median berumput.
Bersama Institut Teknologi Bandung, pengelola Kuala Kencana telah membuat master plan yang telah dipersiapkan untuk 30 tahun ke depan. Hal itu dilakukan agar penambahan kebutuhan seperti perumahan karyawan dan daya dukungnya telah dipersiapkan sejak awal. Mereka tidak ingin area seluas 17.000 hektar yang sebagian besar adalah hutan asli tersebut rusak.
”Tugas pengelola kota adalah tidak hanya perencanaan kota, tapi juga menjaga kelestarian hutan. Ini bekerja sama dengan pemerintah. Master plan yang kami sedang buat nantinya akan menjadi perda (peraturan daerah). Itu akan menjadi panduan semua pihak yang berkepentingan mengelola Kuala Kencana. Jadi, di Kuala Kencana ini tidak bisa orang sembarangan bangun. Mau potong pohon pun harus izin ke kami,” kata Hasiholan.
Investasi awal besar dan perlu biaya pengelolaan hingga 750.000 dollar AS per bulan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan budaya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.