Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Maluku, Bangsa-bangsa Dunia Bertemu

Kompas.com - 25/10/2013, 11:41 WIB
KEPUNGAN laut dalam, tebaran gunung api, ancaman gempa dan tsunami yang menyertai, serta pulau karang nan kering dan tandus tidak membuat Kepulauan Maluku menakutkan untuk dihuni. Gunung api menyuburkan tanah, laut dalam pun membawa kelimpahan kekayaan laut. Kondisi lingkungan yang tampak keras dan penuh gejolak di satu sisi ternyata membuat ”Negeri Seribu Pulau” itu berlimpah anugerahi kekayaan alam.

Harta di darat dan di laut itulah yang menarik bangsa-bangsa dunia datang ke Maluku, sejak dulu hingga kini. Tak sekadar ingin turut mencicipi berkah karunia alam, ada pula yang tamak ingin menguasainya. Namun, dari perjumpaan dengan bangsa-bangsa dunia itulah, peradaban Maluku saat ini dibangun.

Maluku terhampar di atas lautan mulai dari bagian barat daya Samudra Pasifik di utara hingga sisi timur Samudra Hindia di bagian selatan. Sebanyak 2.924 pulau tersebar di atasnya, mulai dari Ujung Halmahera yang berbatasan dengan Palau hingga Tenggara Jauh yang bertetangga dengan Timor Leste dan Australia.

Terbagi dalam dua provinsi: Maluku dan Maluku Utara, 17 kabupaten, dan empat kota, Kepulauan Maluku menjadi tempat bagi 2,6 juta penduduk (2010)— setara jumlah penduduk Jakarta Timur. Mereka tersebar tidak merata hingga ke pulau-pulau kecil nan terpencil, berbicara dalam 129 bahasa, serta memiliki keragaman budaya, agama, dan tingkat peradaban yang berbeda.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Para penumpang turun dari kapal Nggapulu di dermaga Namlea, Pulau Buru, Maluku, Rabu (19/6/2013). Dermaga Namlea menjadi pintu gerbang keluar masuk Pulau Buru.
Sejak masa prasejarah, Maluku dan Indonesia menjadi perlintasan penyebaran manusia di kawasan Indo-Pasifik, daerah yang terbentang dari barat Samudra Hindia hingga bagian tengah Samudra Pasifik.

Jason A Wilder dan kawan-kawan dalam Genetic Continuity Across A Deeply Divergent Linguistic Contact Zone in North Maluku, Indonesia (2011) menyebut, pada 32.500 tahun yang lalu, penduduk dari kawasan barat Indo-Pasifik bergerak menuju Papua dan Australia melalui Indonesia, termasuk Kepulauan Maluku. Mereka jadi nenek moyang orang Papua dan Australia.

Sekitar 3.500 tahun lalu, orang Asia berbahasa Austronesia bergerak melalui Filipina menuju pulau-pulau di Asia Tenggara dan Oseania, juga melalui Maluku. Bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa yang digunakan di Asia Tenggara, Madagaskar, Taiwan, dan barat Oseania.

Penduduk pertama yang mendiami Maluku, menurut M Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah (2007), berasal dari campuran ras Mongoloid (dari Asia) dan Austromelanosoid (dari Melanesia). Akan tetapi, kelompok ras Austromelanosoid lebih mendominasi. Mereka tiba di Maluku secara bergelombang dan menempati wilayah yang terisolasi.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Abdi dalem Keraton Ternate di Keraton Kesultanan Ternate, Kota Ternate, Maluku Utara, Selasa (3/7/2012). Keraton ini dibangun oleh Sultan Muhammad Ali pada tanggal 24 November 1810 terletak diatas Bukit Limau Santosa.
Manusia di Kepulauan Maluku makin beragam saat orang Negroid berbahasa Austronesia tiba sekitar 2.000 tahun lalu. Kedatangan mereka diikuti orang Melayu secara bergelombang. Gelombang awal orang Melayu tersingkir dan masuk ke pedalaman, menjadi suku-suku terasing yang ada saat ini. Adapun orang Melayu yang datang belakangan, tinggal di tepi pantai.

Sejak kehadiran orang Negroid, budaya masyarakat berubah. Kegiatan ekonomi mulai dikenal. Meski tidak diketahui pasti lingkup kegiatan ekonominya, di awal milenium itu, perdagangan antarpulau diyakini sudah terjadi.

Cengkeh dan pala asal Maluku dibawa pelaut China, Arab, India, Melayu, dan Jawa hingga tersebar ke seluruh penjuru dunia. Itu dibuktikan dengan ditemukannya cengkeh di China pada masa Dinasti Han (206 SM-220 SM) dengan sebutan thing-hiang atau rempah kuku. Rempah juga sudah ada di Eropa sejak era Ptolomeus (305 SM-30 SM) yang dibawa pedagang Arab dan India, seperti disebut Jack Turner dalam Spice, The History of A Temptation (2005).

Daerah penghasil rempah yang dikenal saat itu adalah Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti. ”Maluku menjadi sentral pergerakan manusia karena rempah,” ujar Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Maluku Utara Syahril Muhammad. Selama berabad-abad, para pelaut itu tidak hanya berdagang, tetapi juga bermukim, bergaul, dan menikah dengan warga lokal.

Perburuan rempah

Besarnya manfaat dan tingginya harga rempah di Eropa membuat bangsa-bangsa Barat ingin mencari rempah langsung ke sumbernya.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Rumah pengasingan tokoh pergerakan di Pulau Neira, Banda, Mauluku Tengah, beberapa waktu lalu. Di Pulau Neira terdapat sejumlah rumah bekas tempat pengasingan tokoh-tokoh pergerakan seperti Syahrir, Hatta, Soetomo, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Bangsa Eropa pertama yang tiba di Ternate adalah Portugis, tahun 1512. Disusul Spanyol, Inggris, dan Belanda. Mereka ingin memonopoli perdagangan dan wilayah dengan memanfaatkan persaingan di antara empat kesultanan di Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Penguasaan itu membawa derita panjang bagi rakyat. Peperangan, pembunuhan, dan pengusiran warga dari tanahnya, hingga penebangan pohon cengkeh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com