Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/10/2013, 12:14 WIB

SUARA
mesin tempel yang memantul pada deretan pepohonan mengiringi sepanjang perjalanan di sungai yang membelah hutan rawa. Hanya melalui jalur sungai itulah warga Asmat di Papua dapat bepergian dari Agats menuju Atjs, atau ke wilayah lain seperti Jinak, hingga ke Kampung Karbis dan Burbis di Distrik Suator.

Ratusan kampung yang tersebar di kawasan yang didominasi rawa berlumpur itu dihubungkan oleh sungai-sungai besar seperti Best, Sirets, dan Asewets. Sungai, menurut Rene Wassing dalam Asmat Art, adalah jantung transportasi bagi warga Asmat.

Jaringan sungai itu saling berkait karena ada ribuan sungai kecil yang menembusi lebatnya hutan bakau, sagu, dan kayu besi. Jaringan sungai itu juga menjadi jalan utama bagi warga Asmat untuk menuju ke kolam-kolam di tengah hutan tempat ikan-ikan rawa seperti mujair, gurami, lele, dan arwana, berkembang biak.

Selain menjadi sarana utama mobilitas warga, sungai bagi warga Asmat adalah halaman depan dan sumber kehidupan mereka. Di rawa-rawa tepi sungai itulah orang Asmat mendirikan kampung mereka. Rumah mereka ditata sedemikian rupa dengan menempatkan sungai sebagai jalur utama untuk masuk dan keluar perkampungan. Untuk menghubungkan antar-rumah, dibuatlah jaringan jalan yang terbuat dari papan dengan tiang-tiang penyangga.

Bagi warga dari luar Asmat, fakta itu dengan mudah mengantar mereka pada kesimpulan bahwa bagi orang Asmat, sungai dan rawa adalah basis dan nadi kehidupan mereka. Ini tidak salah. Namun bagi orang Asmat, sungai memiliki makna yang lebih dari sekadar sarana.

Dirk A M Smidt dalam pengantar buku Asmat Art, mengatakan, orang Asmat menempatkan hidup berkebudayaan mereka sebagai sebuah representasi dari komunikasi antara Yang Hidup dan Dunia Roh. Antara komunitas yang hidup dengan jiwa para leluhur. Di wilayah yang didominasi hutan berawa dan jaringan sungai-sungai besar itu, burung, binatang, bahkan sungai sendiri memiliki jiwa, entitas itu ber-roh. Dalam konteks itulah, Asmat menurut Dirk, selayaknya dipahami.

Paskalis Osakat, seorang wowcescuipits atau ahli ukir dari Atjs mengatakan, sungai adalah jalan bagi roh-roh untuk pergi menuju keabadian. Di tempat sakral itu tinggal Cessepo, Sang Roh Sungai. Dialah yang menuntun roh dan jiwa-jiwa menuju ke tempat khusus itu.

Oleh karena itu, menurut dia, rumah adat Asmat atau biasa disebut jew selalu menghadap ke sungai. Selain alasan keamanan–karena dulu musuh selalu datang dari arah sungai sehingga memudah pemantauan–posisi itu diambil juga karena alasan sikap hormat pada sungai.

Aneka upacara adat yang berpusat di jew juga menempatkan sungai sebagai media utama saat mereka memanggil atau mengantar roh leluhur. Bagi orang Asmat, relasi itu sangat penting karena dalam pemahaman mereka, tanpa kematian tidak ada kehidupan (Dirk A M Smidt dalam The Asmat: Life, Death and The Ancestors).

Tak heran, jika orang Asmat, menurut Paskalis Osakat, begitu menghormati sungai. ”Sampah pun tidak boleh dibuang ke sungai karena itu menunjukkan sikap tidak hormat,” kata Paskalis.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com