Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wangsit Kalimasada di Bawah Pohon Sukun

Kompas.com - 28/10/2013, 08:15 WIB
”Mana Pater Huijtink?”Itulah satu pertanyaan spontan yang dilontarkan Presiden Soekarno ketika hendak berpidato di hadapan massa di Lapangan Perse, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tahun 1950. Lapangan itu, yang pada masa kolonial Belanda disebut ”plein”, kini disebut Lapangan Pancasila.

Kedatangan Bung Karno saat itu bukan lagi sebagai orang buangan sebagaimana 12 tahun sebelumnya, yakni tahun 1934-1938, ketika ”Putra Sang Fajar” itu diasingkan di Ende oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Soekarno rupanya tak bisa lupa pada sosok Pater Gerardus Huijtink SVD, Pastor Paroki Ende. Rohaniwan Katolik berjenggot tebal dan panjang itu, begitu mendengar namanya dipanggil oleh Presiden, langsung menyeruak di antara kerumunan massa. Huijtink berpegangan tangan berlama-lama dengan Bung Karno seakan tidak ingin lepas.

”Saya masih mempunyai utang 70 gulden Pastor, ha-ha-ha,” kata Soekarno.

Pada saat Soekarno diasingkan di Ende, pada umumnya orang-orang terpandang, seperti para amtenar Hindia Belanda dan kalangan Raja Ende waktu itu, menghindarinya. Justru Huijtink salah seorang yang pertama datang ke rumah Bung Karno. Mereka pun bersahabat.

Lewat Huijtink pula Bung Karno dapat meminjam Gedung Imakulata, Ende. Bung Karno memanfaatkan gedung tersebut untuk pementasan tonil berdasarkan 13 naskah tonil ciptaannya yang isinya membangkitkan semangat kebangsaan dan nasionalisme. Klub tonil yang dibentuknya beranggotakan sekitar 95 orang, yang semuanya berasal dari kalangan rakyat kecil.

Pada mulanya Huijtink tidak memungut biaya. Akan tetapi, Bung Karno memutuskan menyewa gedung tersebut sebagai bentuk kemandirian. Pada praktiknya, pementasan sering merugi sehingga akhirnya klub tonil Kelimutu yang didirikan Bung Karno tersebut berutang 70 gulden uang sewa gedung.

Tuan presiden

Selama bergaul dengan Bung Karno yang menjalani pengasingan di Ende, Huijtink terkadang menyapa Bung Karno dengan Excelency atau memanggilnya dengan sebutan ”Tuan Presiden”. Padahal, saat itu kemerdekaan Indonesia masih bagian dari mimpi besar Bung Karno.

Fakta ini diungkapkan Pater Lambert Lame Uran SVD dalam kesaksiannya yang tertulis di buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara.

KOMPAS/HARIADI SAPTONO Dua tongkat Bung Karno semasa pengasingan di Ende, 1934-1938.
Saat berjalan berdampingan dengan para pastor, Bung Karno selalu menempatkan dirinya di samping kiri pastor. Suatu ketika, Huijtink memutuskan berjalan di samping kiri Bung Karno. Berjalan di sebelah kiri seseorang berarti melindungi orang di sebelah kanannya.

Selain Huijtink, kalangan pastor yang bersahabat karib dengan Bung Karno adalah Pater Johanes Bouma SVD, yang kala itu menjabat sebagai Pemimpin SVD Regio Sunda Kecil.

Komunitas SVD atau Serikat Sabda Allah merupakan salah satu tarekat Katolik yang berkembang di Indonesia. Sejak tahun 1915, pusat misi SVD berpindah ke Ndona, Ende, Pulau Flores.

”Ketika Bung Karno dibuang ke Ende, SVD baru 19 tahun menetap di Flores. Namun, karya SVD sudah cukup nyata, bahkan sudah bisa dirasakan orang yang bukan Katolik, seperti Bung Karno,” kata Pemimpin Umum Harian Flores Pos John Dami Mukese. Flores Pos, salah satu unit misi karya SVD, mulai terbit sejak tahun 1999.

Menurut John, persahabatan dengan pastor telah mengantar Bung Karno kepada suatu penemuan penting, yaitu toleransi beragama.

Ia mengenal agama Katolik, tetapi juga berkesempatan memperdalam Islam melalui korespondensi dengan ulama asal Bandung, Jawa Barat, TA Hasan. Sebanyak 12 surat kemudian diterbitkan dengan judul Surat-surat Islam dari Ende.

Gagasan dan rencana Bung Karno mendirikan negara Indonesia merdeka, serta ide-ide brilian dalam menemukan dan merumuskan butir-butir mutiara Pancasila, juga tidak terlepas dari diskusi yang serius dan mendalam dengan kedua sahabatnya yang berbeda keyakinan tersebut.

Dari keakraban dengan para pastor, Bung Karno juga dapat mempelajari apa saja yang dia inginkan, terutama melalui eksplorasinya di perpustakaan milik biara.

Dia melahap berbagai jenis buku, mulai dari berbagai aliran seni lukis, sejarah, hingga budaya bangsa-bangsa, serta berbagai aliran filsafat. Bung Karno juga mengetahui perkembangan negara-negara di dunia dari koran- koran luar negeri yang dikirim ke Misi Ende.

Sosialisme

Menurut sesepuh Ende, FA Soengkono (83), proses yang dialami Bung Karno selama di Ende telah membuka cakrawala berpikirnya menjadi lebih luas sehingga dapat merumuskan butir-butir Pancasila. Hal itu diakui Bung Karno ketika berpidato dalam kunjungan keduanya sebagai presiden ke Ende tahun 1954.

Dalam buku Di Bawah Pohon Sukun Itu, Soengkono memuat sebagian kutipan pidato Bung Karno tahun 1954 di Ende sebagai berikut, ”Saudara-saudaraku sebangsa setanah air, proses terbentuknya Pancasila ini memakan waktu lama, melalui limbah air mata, melalui pengorbanan fisik dan perasaan. Beberapa kali aku ditangkap Belanda, beberapa kali aku diadili, masuk tahanan dan dipenjara. Syukur alhamdulillah, aku dibuang dan dikucilkan di Pulau Flores tinggal bersama saudara-saudaraku di sini selama lebih kurang empat tahun. Dalam kurun waktu empat tahun itu aku menggali, menggali, dan menggali. Semangatku tidak pupus karena disingkirkan ke Ende ini. Apa yang bertahun-tahun aku tekuni telah mengendap dan mengkristal. Budaya bangsaku, warisan leluhurku telah aku kaji menjadi lima butir mutiara yang tersimpan sejak dulu dalam kalbu bangsaku di persada tanah air Indonesia.”

Bung Karno digambarkan sambil tangan kirinya menunjuk lapangan bola/Lapangan Perse mengatakan, ”Di bawah pohon sukun itu… aku telah mendapat wangsit Kalimosodo… Itulah perjalanan lahirnya Pancasila.”

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Bekas rumah pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, Selasa (19/10/2012). Masa pembuangan oleh Belanda di Ende justru memperkaya pengalaman Soekarno tentang pluralisme masyarakat Indonesia.
Apa yang telah ditebar Bung Karno kini berbuah indah di bumi NTT, khususnya Ende, di Pulau Flores. Kedamaian antaretnik yang majemuk dan toleransi antarumat beragama terjalin baik sampai saat ini. Belum pernah terjadi konflik horizontal fatal yang berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Tak ada juga konflik massa terkait pendirian rumah ibadah.

”Nilai-nilai positif yang telah diturunkan pendiri bangsa ini harus terus dikembangkan di masyarakat, bukan saja sebatas melestarikan atau merevitalisasi situs-situs bersejarah Bung Karno,” kata Soengkono.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ende Djamal Humris mengungkapkan, mayoritas penduduk Ende beragama Katolik, tetapi kota ini justru punya sebutan khusus, yaitu ”Kota Seribu Masjid”.

Ende, kota kecil yang semula dimaksudkan untuk memadamkan semangat Bung Karno, justru menjadi laboratorium ideologi dan politik Bung Karno. Fondasi sebagai bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa, ras, dan agama diawali di sini. Di sini persaudaraan itu mulai dirajut dengan indah. (Samuel Oktora)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com