Tinus (20), pemuda suku Yali, Yahukimo, Papua, tidak lagi memegang panah dan beternak. Dua tahun sudah Tinus pergi dari kampung menuju Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Di sana, dia jadi pengayuh becak. Profesi ini menjadi sebuah ironi bagi masyarakat asli setempat.
”Sekolah hanya sampai SMP karena orangtua tidak mampu membiayai. Mau bekerja sebagai pedagang pasti kalah dengan pendatang. Ya, sudah, saya jadi pengayuh becak saja,” kata Tinus di Wamena, pertengahan Juli 2013 lalu.
Becak pertama kali didatangkan dari Sulawesi ke Wamena tahun 1979. Saat itu, becak diangkut menggunakan pesawat dari Sentani, Jayapura, ke kota yang berada di ketinggian 1.700 di atas permukaan laut itu. Untuk jasanya, Tinus biasa dibayar Rp 5.000-Rp 15.000 sekali jalan tergantung jarak. Harga tersebut relatif murah ketimbang harga premium yang biasa dijual Rp 19.000 per liter.
Dengan mengayuh becak, Tinus memperoleh uang Rp 75.000-Rp 200.000 per hari. Sebanyak Rp 25.000 disisihkan untuk ongkos sewa becak yang dimiliki pendatang asal Jawa. Saat ini, moda transportasi di wilayah Jayawijaya sangat beragam. Ada ojek, angkutan antarkota, dan pesawat terbang.
Tidak mengherankan jika lembah yang ditemukan pertama kali pada tahun 1938 oleh seorang warga Amerika Serikat, Richard Archbold, anggota ekspedisi ilmiah pemerintah Hindia Belanda, itu kini menjadi kota yang sangat ramai. Landasan udara di Wamena dapat didarati pesawat jet berbadan besar, seperti Boeing 737 seri 200, yang mengangkut pasokan pangan dan bahan bakar untuk wilayah pegunungan tengah Papua. Bandara itu menjadi penghubung untuk wilayah lain di pegunungan tengah Papua, seperti Puncak dan Yahukimo.
Kota itu juga menjadi pusat logistik yang disalurkan melalui darat menuju Kabupaten Lanny Jaya, Puncak Jaya, dan Tolikara. Derasnya arus distribusi barang dan jasa di wilayah itu perlahan tetapi pasti telah membuat wajah Wamena berubah. Bak magnet, arus perubahan itu menarik banyak orang untuk datang dan mengadu nasib di Wamena.
Ruko dan kios kian menjamur. Jaringan ekonomi yang dibangun pendatang mengubah sistem lama dan mulai menggurita hingga ke pelosok karena dukungan aneka infrastruktur. Namun, dalam derasnya arus perubahan itu, sebagian besar warga Baliem berada di pinggiran menjadi penjual sayur atau pengayuh becak.
Berubah
Dulu, masyarakat Lembah Baliem adalah pejalan kaki. Mereka kerap berpindah tempat mencari penghidupan yang lebih baik. Setelah mengenal bercocok tanam, mereka tinggal di lereng-lereng pegunungan, tengah hutan, dan tepian sungai sebagai satu komunitas adat yang mengedepankan pertanian dan peternakan. Dalam buku Ekologi Papua (2014), lembah itu mulai dihuni manusia pada 32.000 tahun lalu. Pada mulanya, mereka berburu binatang dan bahan makanan. Pertanian baru berkembang pesat sekitar 7.000-6.000 tahun lalu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.