Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/10/2013, 15:56 WIB

Di kawasan itu, kita juga bisa menemukan jejak manusia purba yang hidup pada periode 5.000-3.000 tahun yang lalu. Jejak yang bisa kita lihat sampai sekarang adalah tumpukan sampah dapur berupa fosil kulit kerang, pecahan tembikar, bahkan bulir padi di Leang Bulu Sipon. Kita juga bisa menyaksikan lukisan purba dalam bentuk telapak tangan, gambar babi, ikan, dan rusa.

Mampir ke kampung

Kehidupan bergerak, masa purba berlalu sudah. Daerah-daerah paling terpencil di kawasan karst ini pun sekarang sudah mulai berpenghuni. Di ujung Sungai Pute yang sunyi pun ada beberapa rumah berdiri di tepian. Kami mampir ke sana setelah menerabas lumpur sungai yang tebal dan licin. Setelah itu, kami menyusuri jalan setapak berbatu tajam.

Pemilik rumah, Hasnawati, menyambut kami dengan ramah. Ia sudah terbiasa menerima tamu asing yang datang mendadak. ”Beberapa kali ada tamu yang mampir, bahkan menginap di sini. Biasanya dari luar negeri,” kata Hasnawati.

Ia pun menyiapkan teh dan kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Air kelapa muda itu terasa manis dan segar di tengah cuaca terik yang membekap Maros.

Ada 4-5 keluarga yang bertetangga dengan Hasnawati. Semuanya bekerja sebagai petani dan peladang. ”Kami punya sawah meski sedikit. Hasilnya cukup untuk makan enam bulan. Selain itu, kami mencari ikan di sungai dan menjualnya ke pasar,” ujarnya.

Seperti warga di sekitar hulu Sungai Pute lainnya, Hasnawati memanfaatkan sungai untuk berhubungan dengan dunia luar. Ia biasa membawa padi hasil panen dengan perahu ke pusat kota Maros. Di sana ia menggiling padi menjadi beras.

Begitulah, dari generasi ke generasi Sungai Pute menghubungkan orang-orang di hulu dan hilir sungai. Mereka bertemu di Pasar Pute untuk bertransaksi atau barter barang setiap hari pasar yang jatuh hari Selasa dan Sabtu.

Selain petani dan peladang, beberapa titik kawasan karst Maros-Pangkep juga menjadi markas bagi perusahaan-perusahaan semen dan marmer. Mereka menjadi salah satu pertanda merembesnya kehidupan modern di kawasan itu sekaligus membunyikan lonceng ”kematian” buat menara-menara karst yang berdiri sejak jutaan tahun lalu. Satu per satu menara karst itu ditumbangkan dan digerus mesin-mesin berat hingga menjadi debu kapur dan potongan marmer. Saat itulah jejak perjalanan alam yang terbentuk jutaan tahun lamanya binasa.

Menjelang petang kami pulang. Di atas perahu, budayawan Asdar Muis membacakan puisi tentang kehidupan harmonis antara alam dan manusia di Rammang-Rammang. Kami menikmati puisi itu sebagai doa, semoga kawasan karst Maros-Pangkep yang masih tersisa tidak ikut binasa. (Aswin Rizal Harahap dan Budi Suwarna)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com