Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Rendezvous" di Rammang-Rammang

Kompas.com - 28/10/2013, 15:56 WIB
PERJALANAN ke jantung Rammang-Rammang ibarat tamasya ke zaman purba. Bongkahan batu karst raksasa dan goa-goa gelap tersebar di mana-mana. Di sanalah kehidupan purba dulu bersemi dan lenyap saat zaman berganti.

Era modern dan sisa zaman purba bertetangga di Kabupaten Maros, tidak jauh dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Hanya satu jam berkendaraan dari Makassar, kami tiba di Sungai Pute yang menjadi pintu masuk untuk rendezvous ke masa purba.

Di sebuah dermaga kecil di bawah Jembatan Pute yang menghubungkan Jalan Raya Trans-Sulawesi, Kamaruddin (34) dan Daeng Saing (40) menyiapkan katinting (perahu kayu) berkapasitas 5-10 orang petang itu. Dengan perahu itulah kami menyusuri alur Sungai Pute menuju kawasan karst Rammang-Rammang yang masuk ke wilayah Kecamatan Bontoa, Maros.

Sungai yang menghubungkan laut dan daerah perbukitan karst itu mengalir tenang. Di sepanjang sisi sungai, pohon bakau dan nipah tumbuh subur menjelma hutan. Akarnya melingkar-lingkar dan menghunjam kuat ke dalam tanah. Satu-dua nelayan terlihat menebar jaring di sana, mencari ikan, udang, dan kepiting sungai yang gurih dagingnya.

Semakin bergerak ke hulu, suasana yang ditawarkan semakin asing. Air sungai nyaris tidak bergerak, terpaku oleh bongkahan-bongkahan batu karst yang menyeruak dari dasar sungai. Kamaruddin mematikan mesin agar perahu tak menerjang bongkahan karst yang tajam dan sebagian bersembunyi di bawah air. Sepi langsung membekap hingga desir angin dan kepak burung belibis terdengar jelas di telinga.

Saing yang duduk di haluan (bagian depan perahu) tanpa suara memberikan aba-aba kepada Kamaruddin yang duduk di buritan (belakang perahu). Jika tangan kanan yang melambai, perahu berbelok ke kanan. Tangan kiri bergerak, perahu berbelok ke kiri. Jika Saing mengepalkan tangan, Kamaruddin menghentikan perahu. Saat itulah Saing berpikir singkat untuk menentukan celah bebatuan mana yang akan dilalui perahu.

Lepas dari sebuah tikungan, tebing karst besar menutup hampir sebagian lebar sungai. Di tengah tebing itu ada celah sempit membentuk terowongan pendek yang hanya bisa dilalui satu perahu. Di dinding atas dan dasar terowongan, kita bisa menyaksikan bagaimana alam mengukir bebatuan menjadi stalaktit dan stalagmit nan indah.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Goa yang digunakan manusia purba untuk bertahan hidup yang di dalamnya terdapat sisa makanan berupa kulit kerang dan sampah dapur di Leang Bulu Sipong, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Terowongan itu menjadi semacam jeda sebelum kami dihadapkan pada pemandangan spektakuler: ratusan menara (tower) karst yang berserakan bagai remah-remah kue raksasa. Menara-menara karst itu memanjang 40 kilometer di wilayah Kabupaten Maros dan Pangkajene Kepulauan (Pangkep) di areal seluas 43.750 hektar.

Bagaimana alam membentuk kawasan karst yang menawan itu? Guru Besar Geologi Universitas Hasanuddin Imran Umar memperkirakan, kawasan karst di Sulsel terbentuk sekitar 56 juta-18 juta tahun yang lalu, yakni pada zaman periode Eosen sampai Miosen. Pada periode tersebut, Lempeng Australia mulai menumbuk tepian paparan Sunda dari arah tenggara. Akibatnya, muncul banyak retakan penyesaran di batuan karbonat. Selanjutnya terjadilah proses pembentukan menara karst berikut goa-goanya (Kompas, 1/9/2012).

Diperkirakan ada 286 leang (goa) ukuran besar yang terbentuk di kaki atau tubuh menara karst Maros-Pangkep. Sebagian menjadi rumah bagi ribuan kelelawar dan hewan-hewan yang senang ”bergadang”. Ketika senja tiba, kita bisa melihat kawanan kelelawar beterbangan dari sarangnya untuk mencari makan. Saat itulah, langit di atas menara karst dipenuhi noktah hitam yang bergerak cepat.

Di kawasan itu, kita juga bisa menemukan jejak manusia purba yang hidup pada periode 5.000-3.000 tahun yang lalu. Jejak yang bisa kita lihat sampai sekarang adalah tumpukan sampah dapur berupa fosil kulit kerang, pecahan tembikar, bahkan bulir padi di Leang Bulu Sipon. Kita juga bisa menyaksikan lukisan purba dalam bentuk telapak tangan, gambar babi, ikan, dan rusa.

Mampir ke kampung

Kehidupan bergerak, masa purba berlalu sudah. Daerah-daerah paling terpencil di kawasan karst ini pun sekarang sudah mulai berpenghuni. Di ujung Sungai Pute yang sunyi pun ada beberapa rumah berdiri di tepian. Kami mampir ke sana setelah menerabas lumpur sungai yang tebal dan licin. Setelah itu, kami menyusuri jalan setapak berbatu tajam.

Pemilik rumah, Hasnawati, menyambut kami dengan ramah. Ia sudah terbiasa menerima tamu asing yang datang mendadak. ”Beberapa kali ada tamu yang mampir, bahkan menginap di sini. Biasanya dari luar negeri,” kata Hasnawati.

Ia pun menyiapkan teh dan kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Air kelapa muda itu terasa manis dan segar di tengah cuaca terik yang membekap Maros.

Ada 4-5 keluarga yang bertetangga dengan Hasnawati. Semuanya bekerja sebagai petani dan peladang. ”Kami punya sawah meski sedikit. Hasilnya cukup untuk makan enam bulan. Selain itu, kami mencari ikan di sungai dan menjualnya ke pasar,” ujarnya.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Menyusuri Rammang-Rammang di kawasan karst di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.
Seperti warga di sekitar hulu Sungai Pute lainnya, Hasnawati memanfaatkan sungai untuk berhubungan dengan dunia luar. Ia biasa membawa padi hasil panen dengan perahu ke pusat kota Maros. Di sana ia menggiling padi menjadi beras.

Begitulah, dari generasi ke generasi Sungai Pute menghubungkan orang-orang di hulu dan hilir sungai. Mereka bertemu di Pasar Pute untuk bertransaksi atau barter barang setiap hari pasar yang jatuh hari Selasa dan Sabtu.

Selain petani dan peladang, beberapa titik kawasan karst Maros-Pangkep juga menjadi markas bagi perusahaan-perusahaan semen dan marmer. Mereka menjadi salah satu pertanda merembesnya kehidupan modern di kawasan itu sekaligus membunyikan lonceng ”kematian” buat menara-menara karst yang berdiri sejak jutaan tahun lalu. Satu per satu menara karst itu ditumbangkan dan digerus mesin-mesin berat hingga menjadi debu kapur dan potongan marmer. Saat itulah jejak perjalanan alam yang terbentuk jutaan tahun lamanya binasa.

Menjelang petang kami pulang. Di atas perahu, budayawan Asdar Muis membacakan puisi tentang kehidupan harmonis antara alam dan manusia di Rammang-Rammang. Kami menikmati puisi itu sebagai doa, semoga kawasan karst Maros-Pangkep yang masih tersisa tidak ikut binasa. (Aswin Rizal Harahap dan Budi Suwarna)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com