Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warung di Bawah Asuhan Pak Haji

Kompas.com - 30/10/2013, 07:51 WIB

Inovasinya saat menawarkan menu konro bakar membuat nama Karebosi kian terkenal. Bahkan, banyak yang bilang, tak lengkap rasanya ke Makassar tanpa mencicipi sepiring sop konro atau konro bakar Karebosi.

Menurut Ilham, bumbu racikannya tak jauh berbeda dengan konro pada umumnya, yakni kacang tanah, serai, lengkuas, ketumbar, cengkeh, pala, bawang putih, dan bawang merah. Namun, sang ayah tak memakai kacang merah yang biasa dipakai sebagai salah satu bahan pembuat kuah.

”Kacang merah kami ganti dengan menambah takaran kacang tanah agar rasanya gurih. Kacang tanah juga digoreng agak gosong agar kuahnya berwarna kehitaman,” kata Ilham. Tulang iga pun dimasak berjam-jam agar lemaknya lepas dan mengambang. Air rebusan pertama diganti, kemudian dicampur dengan racikan bumbu.

Demi mempertahankan kualitas rasa, tugas meracik bumbu dilakukan oleh adik Ilham, Ernawati. ”Itu amanah ayah saya bahwa pembuatan bumbu harus dilakukan keluarga,” ujar Ilham. Sejak warungnya makin populer, sedikitnya 800 porsi konro yang dijual seharga Rp 35.000-Rp 37.000 per mangkuk habis terjual dalam sehari.

Modal dasar

Bagaimana warung-warung makan itu membangun nama besarnya? Antropolog Universitas Hasanuddin, Tasripin Tahara, menjelaskan, ada beberapa jurus yang biasa dimainkan pemilik warung di Kota Makassar agar warungnya diingat banyak orang. Yang paling umum adalah mereka menggunakan nama tempat atau jalan di mana warung itu buka sebagai merek dagang. Karena itu, muncullah nama Coto Gagak, Coto Nusantara, Konro Karebosi, Rumah Makan Paotere, dan Pallubasa Serigala.

Jurus lain adalah merekonstruksi merek berdasarkan tokoh yang pernah makan di warung itu. Tidak heran jika warung-warung di Makassar bertabur foto-foto pejabat dan tokoh yang pernah makan di warung itu. ”Untuk sebuah masyarakat yang corak patron-kliennya kuat seperti Makassar, jurus itu cukup ampuh untuk memperkuat merek,” ujar Tasripin.

Belakangan, lanjut Tasripin, sebagian dari mereka memainkan jurus pamungkas untuk memelihara merek, yakni mencantumkan kata ”asuhan” diikuti nama pendiri warung yang umumnya bergelar haji di papan nama warung mereka. Tengoklah papan nama warung makan mereka sekarang.

Maka, Coto Gagak menjadi Coto Gagak Asuhan Haji Jamaluddin Daeng Nasa, Palubassa Serigala menjadi Palubasa Asuhan Haji Chaeruddin, dan Warung Ikan Bakar Paotere menjadi Warung Ikan Bakar Paotere Asuhan Daeng Tawakkal. ”Dengan menambahkan nama pengasuhnya, warung-warung mapan itu ingin menegaskan identitasnya yang berbeda di tengah semakin banyaknya warung sejenis di Makassar,” kata Tasripin.

Budayawan Makassar Asdar Muis RMS menambahkan, pencantuman kata ”asuhan haji A atau B” awalnya muncul di warung-warung coto makassar yang buka di luar Sulsel. ”Orang luar kan sering mengira kalau semua coto itu rasanya tidak jauh berbeda. Padahal, tidak seperti itu. Masing-masing warung punya resep rahasia sendiri.”

Dengan mencantumkan kata ”asuhan” dan nama pendiri warung, lanjut Asdar, pemilik warung ingin mengatakan, ”Warung aku ini pakai resep rahasia keluarga Makassar.”

Jadi, mau ke warung asuhan siapa kita hari ini? (Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com