Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gowa-Tallo Sempat Melampaui Singapura

Kompas.com - 30/10/2013, 09:19 WIB
DARI perniagaan laut, kerajaan kembar Gowa-Tallo atau Makassar tumbuh menjadi negeri terpandang. Pelabuhan-pelabuhan kerajaan, yakni Somba Opu dan Tallo, menjadi bandar niaga yang maju dan ramai disinggahi saudagar dari berbagai belahan dunia. Pamornya sempat melampaui Singapura.

Sebelum muncul praktik perkulakan grosir seperti era sekarang, sekitar lima abad silam kerajaan ini sudah menjalankan model serupa. Kerajaan Gowa-Tallo membeli rempah-rempah dari Maluku lalu menyimpannya di gudang. Makassar menampung pala, cengkeh, lada, dan sejenisnya.

Sepanjang tahun tanpa terpengaruh angin musim barat dan timur, gudang Makassar selalu siap melayani orderan dari bangsa-bangsa asing lainnya dengan harga yang kompetitif.

Dalam peta penjelajahan dunia tempo dulu, Makassar dieja ”Macassar” atau ”Mangkasar”, dan sering dikorelasikan sebagai sikap yang tegas dan ”keras” dalam prinsip.

Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward L Poelinggomang, menguraikan, hitungan serta tindakan dalam perniagaan di laut amat sejalan dengan jiwa maritim yang terbuka, jujur, dan spontan.

Edward menuturkan, kemunculan Makassar sebagai pusat perniagaan maritim terjadi pada masa Raja Gowa IX Karaeng Tumapa’risi’ Kallona (1510- 1546). Raja tersebutlah yang pertama kali memindahkan istana dan pusat pemerintahan ke Somba Opu, daerah di pesisir laut dekat muara Sungai Jeneberang.

Sebelumnya, istana kerajaan berada di Bukit Tamalate yang berjarak sekitar 6 kilometer dari pantai dengan fokus pada kegiatan agraris. Istana Tamalate kini terletak tepat di pusat kota Sungguminasa, tak jauh dari Pemerintah Kabupaten Gowa. Saat dikunjungi tim Kompas awal September lalu, istana berikut museum dalam satu kompleks tengah direnovasi.

Momentum niaga

Kembali ke ihwal pemindahan istana dari pedalaman Tamalate ke Somba Opu di muara Sungai Jeneberang, Edward mencatatnya sebagai momentum atau penanda mulai seriusnya Kerajaan Gowa menggeluti perniagaan bercorak maritim. Pada masa itulah berdiri kantor-kantor dagang bangsa asing di Makassar, termasuk Portugis, Spanyol, Denmark, China, India, dan Arab.

Sejak saat itu, Makassar terus mengembangkan diri dan menjadi simpul perniagaan penting Nusantara. Edward berkisah, mekanisme perkulakan yang dicetuskan Perdana Menteri Kesultanan Gowa Karaeng Pattingalloang terus mendongkrak pamor Makassar. Gowa mengumpulkan rempah-rempah dalam jumlah besar dan menjualnya dengan harga murah. Itulah strategi demi menarik minat pedagang berdatangan.

Kala itu, penjualan rempah-rempah dilakukan dengan pola subsidi silang agar tetap mendapatkan laba. Saat harga rempah murah, harga komoditas lain sedikit dinaikkan.

Melampaui Singapura

Berkat trik dagang tersebut, pamor Makassar di kawasan Asia Tenggara kala itu terus diperhitungkan. Volume perdagangan Makassar (46 juta gulden) melampaui Singapura yang 16 juta gulden (Makassar Abad IX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 2002).

Gowa seolah memberi pemahaman baru. Abad ke-17 ternyata lebih global karena transaksi dan hubungan dagang langsung dari dan ke jantung Makassar.

Sampai sekarang, dengan penduduk sekitar 1,4 juta jiwa, Makassar terus berbenah menjadi kota metropolis tersibuk dan terbesar di Indonesia timur. Secara administratif, Kota Makassar memiliki luas wilayah 175,77 km persegi. Namun, secara sosio-kultural, Makassar tersebar pada beberapa kabupaten/kota, antara lain Kabupaten Gowa, Takalar, dan sebagian Maros.

Kota Makassar yang dulu sempat memakai nama Ujungpandang itu kini menjadi pusat perdagangan, industri pengolahan, dan jasa. Aktivitas perniagaan maritim, seperti yang dilakoni para pelaut yang berlabuh di Pelabuhan Paotere, merupakan salah satu elemen utama yang menopang perekonomian Makassar.

Sayangnya, dua pelabuhan yang pernah menjadi simbol kejayaan kemaritiman Gowa-Tallo kini tinggal kenangan. Pelabuhan dan benteng Somba Opu telah lama dihancurkan Belanda saat menguasai Makassar pada tahun 1669. Adapun Pelabuhan Tallo sudah ditinggalkan sejak akhir abad ke-19 akibat pendangkalan.

Jejak kebesaran Benteng Somba Opu masih bisa disaksikan hingga kini meskipun tinggal sebagian tembok saja yang tersisa. Lokasinya masuk wilayah administratif Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, berjarak sekitar 5 km arah selatan dari Kota Makassar.

Peninggalan lain adalah Fort Rotterdam, benteng ”Pannyua” milik Gowa yang diambil alih VOC sebagai bagian dari Perjanjian Bongaya dengan Sultan Hasanuddin pada tahun 1667. Benteng itu masih utuh dan terpelihara.

Benteng yang kini menjadi salah satu ikon Kota Makassar itu awalnya dibangun pada tahun 1545 oleh raja Gowa ke X, yakni Tunipallangga Ulaweng. Diberi nama ”Pannyua” (penyu) karena bentuknya seperti penyu jika dilihat dari atas.

Pasca-Perjanjian Bongaya, benteng ini dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Gubernur Jenderal Belanda kala itu, Cornelis Speelman, mengganti nama benteng ini Rotterdem untuk mengenang kota kelahirannya di Belanda. Di sini Pangeran Diponegoro sempat ditawan sebelum wafat.

Sayangnya, kehadiran bangunan restoran dan hotel di depan Benteng Rotterdam merusak aura benteng itu sebagai bagian dari sejarah kemaritiman. Benteng yang tadinya menghadap langsung ke laut kini terhalang oleh properti berbau komersial. (Nasrullah Nara/M Final Daeng)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com