Saat waktu makan siang, dapur Rumah Makan Kapurung Kasuari di Jalan Kasuari, Makassar, berdenyut lebih kencang. Yuli Ranggina (48), pemilik warung, sibuk menangani beberapa karung sagu yang baru tiba dari Kota Palopo. Ia mencuci bersih gumpalan sagu yang masih alot itu dengan air dingin. Yuli lantas menyiram gumpalan sagu itu dengan air mendidih hingga meleleh. Ia segera membentuk lelehan sagu menjadi bola-bola serupa bakso.
Beberapa meter dari Yuli, Rahma mengulek cabai, kunyit, kacang tanah, garam, dan asam patikala atau buah kecombrang (mereka tidak menggunakan bunga kecombrang, tetapi buahnya). Untuk mempertahankan keotentikan kapurungnya, Yuli mendatangkan sagu dan asam patikala dari Palopo, salah satu kota yang banyak didiami orang Luwu dan Toraja. Buah kecombrang itu memberikan rasa asam yang khas.
”Sangat berbeda rasanya kalau saya pakai asam lain,” ujar Yuli, pertengahan September lalu.
Rahma lalu merebus bumbu itu bersama bola-bola sagu, ikan mairo (semacam ikan teri), udang, dan ayam suwir. Setelah kuah menggelegak, Rahma memasukkan sayur-mayur, seperti daun kacang panjang, terung, bayam, tomat, jantung pisang, dan jagung. Tidak berapa lama, tiga mangkuk besar kapurung panas berwarna kuning pucat terhidang di meja makan. Aroma gurih terbang melayang bersama asap tipis ke udara. Kami menghirupnya dan membiarkan aroma itu menggedor saraf pembangkit selera makan.
Kami ambil satu sendok kuah kapurung dan menyeruputnya dengan cepat. Rasa asam patikala langsung menonjok dan menggetarkan lidah. Berikutnya, rasa gurih, pedas, dan asin samar-samar muncul bersama aroma kecombrang dan kunyit yang eksotik.
Ketika menyantap bola-bola sagu, sensasi lain muncul di mulut. Tekstur aneka sayur, ayam, dan ikan yang agak kasar ”bersitegang” dengan bola sagu yang kenyal. Saat kita mengunyahnya secara bersamaan, bola-bola sagu melepaskan diri dan menyelonong masuk ke tenggorokan dengan sari ikan mairo yang gurih. Begitulah, semangkuk kapurung telah menjerumuskan kami ke dalam pengalaman makan yang nikmat.
Selain kapurung, rumah makan itu juga menyediakan aneka makanan lain, seperti rempeyek ikan mairo, parede (ikan masak kuah asam), barobbo (bubur nasi bercampur jagung dan sayuran), aneka kue berbahan sagu, dan lawa. Lawa di warung ini berupa campuran daging ikan mairo mentah, kelapa sangrai, cabai, dan perasan jeruk nipis. Rasanya pedas, gurih, dan asam. Lawa nikmat disantap dengan dange atau lempengan sagu yang dibakar.
Meski begitu, kata Yuli, menu primadona di rumah makan yang didirikan sejak 2003 itu tetap saja kapurung. Dalam sehari, ia bisa menjual 50-75 porsi kapurung di hari kerja. Di akhir pekan dan hari libur, kapurung yang terjual bisa 100 porsi. Harga satu porsi berkisar Rp 20.000 hingga Rp 25.000.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.